RRCberbatasan dengan 14 negara : Afganistan, Bhutan, Myanmar, India, Kazakhstan, Kirgizia, Korea Utara, Laos, Mongolia, Nepal, Pakistan, Rusia, Tajikisthab, dan Vietnam. B. Rumusan masalah. Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang menjadi permasalahannya adalah Bagaimanakah system perbandingan politik di negara Amerika Serikat dengan Negara

Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN DAN POLITIK DI INDONESIA PAPER OLEH MANIK SUKOCO NIM 106811400216 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditingkatkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mendalami tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia salah satu hal yang penting adalah memahami sistem politik dan pemerintahan. Berangkat dari situlah kita sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban untuk tetap menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan diharuskan memahami sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Melalui pemahaman tersebut diharapkan memberikan kesadaran bagi kita agar Indonesia menghindari sistem pemerintahan otoriter yang memasung hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. BAB II SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN A. Pengertian sistem politik dan Sistem pemerintahan 1. Pengertian Sistem Politik Istilah sistem politik berasal dari kata sistem dan politik. Sistem merupakan rangkaian dari beberapa komponen dimana tiap komponen antara yang satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan. Tidak berfungsinya satu komponen dalam sistem tersebut akan mengganggu jalannya sistem tersebut. Untari 2006 mengemukakan sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Contoh pemerintahan berdasar sistem konstitusional. Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional Alhaj, 2000 89. Apabila satu komponen pemerintahan tidak berfungsi, artinya melanggar konstitusi maka akan terjadi tidak berfungsinya fungsi pengendali pemerintahan itu sendiri Istilah ”politik” secara konseptual dapat diartikan sebagai 1 suatu usaha yang ditempuh warga negara dalam upaya untuk mampu mewujudkan kebaikan bersama, 2 segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan; 3 sesuatu aktivitas yang mengarah pada upaya mempertahankan kekuasaan, 4 konflik dalam usaha mempertahankan sesuatu yang dianggap penting Ramlan dalam Laboratorium Pancasila, 2001. Jacobsen dan Lipman dalam Sukarna 1979 mengemukakan bahwa ”politics” diberi arti ”the art and science of goverment” artinya seni dan ilmu pemerintahan Selanjutnya dijelaskan “political science is the science of the state. It deals with 1. the relations of individuals to one another in so far as the state regulates them by law; hubungan antara individu dengan individu satu sama lain, yang diatur oleh negara dengan undang-undang 2. the relations of individuals or groups of individuals to the state;hubungan antara individu-individu atau kelompok orang-orang dengan negara 3. the relations of state to state.hubungan antara negara dengan negara” Simpson dalam Sukarna 1979 mengemukakan ilmu politik bertalian dengan bentuk-bentuk kekuasaan, cara memperoleh kekuasaan, studi tentang lembaga-lembaga kekuasaan dan perbandingan sistem kekuasaan yang berbeda.. Oleh karena “sistem politik” bertalian dengan 1.sistem pemerintahan the sistem of goverment; 2. Sistem kekuasaan untuk mengatur hubungan individu atau kelompok indidividu satu sama lain atau dengan negara dan antara negara dengan negara the sistem of power to regulate the relations of individuals oro groups of individuals vis a vis and to the state and the relations state to state Politik hal-hal berhubungan dengan kekuasaan dan kewenangan. Politik secara konseptual dapat diartikan sebagai 1 suatu usaha yang ditempuh warga negara dalam upaya untuk mampu mewujudkan kebaikan bersama, 2 segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan, 3 sesuatu aktivitas yang mengarah pada upaya mempertahankan kekuasaan, 4 konflik dalam usaha mempertahankan sesuatu yang dianggap penting Ramlan dalam Laboratorium Pancasila, 2001233 Dalam makalahnya Untari 2006 menyebutkan banyak pengertian sistem politik yang dikemukakan oleh para pakar antara lain, 1. Perlmutter, menyatakan bahwa sistem politik adalah lingkungan sosio-ekonomi penyelenggara kekuasaan dan organisasi yang beroperasi di dalamnya serta gejala-gejala yang memberi pengaruh terhadap kekuasaan 2. Gabriel Almond 1960 menjelaskan bahwa sistem politik merupakan organisasi melalui mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Selanjutnya Almond juga menjelaskan sistem politik sebagai sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. 3 RA. Dahl 1978 mengartikan sistem politik sebagai pola yang langgeng dari hubungan sosial yang di dalamnya mencakup kontrol, pengaruh dan kekuasaan/otoritas. Sistem politik sebagai mekanisme seperangkat fungsi/peranan dalam struktur politik dalam hubungan dengan lainnya yang menunjukkan proses yang langgeng. 4 Wayo 1990 menyatakan sistem politik merupakan sistem sosial yang menjalankan alokasi nilai berupa keputusan atau kebijakan politik, alokasinya bersifat otoritatif artinya melibatkan kekuasaan yang sah dan mengikat seluruh rakyat. 5. Kantaprawira 2006 mengemukakan sistem politik sama seperti kehidupan lainnya, mempunyai kekhasan integrasi, keteraturan, keutuhan, organisasi, koherensi, keterhubungan dan ketergantungan bagain-bagainnya. 6. David Easton dalam Kantaprawira, 2006 mengemukakan, sistem politik merupakan seperangkat interaksi yang diabstraksi dari totalitas perilaku sosial, melalui mana nilai-nilai disebarkan untuk suatu masyarakat. Dari pendapat tersebut di atas, terlihatlah bahwa walaupun antara kehidupan politik dan sistem politik terdapat kemiripan rumusan, tetapi tetap tampak bahwa pengertian kehidupan politik lebih sempit, dalam arti lebih bersifat riil daripada sistem politik yang diabstraksikan dari totalitas perilaku masyarakat. Dengan perkataan lain, sistem politik mencakup pula kehidupan politik. Dengan demikian secara konseptual bahwa sistem politik ialah, prinsip-prinsip dan mekanisme yang membentuk suatu kesatuan yang berkaitan, utuh dan saling berhubungan untuk mengatur pemerintahan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain dengan negara dan hubungan negara dengan negara. 2. Sistem Pemerintahan Sistem pemerintahan terdiri dari kata, ”sistem” dan ”pemerintahan”. Suatu sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan ha-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh Untari, 2006 Menurut Mas’ud 1989 sistem menunjukkan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhinya maupun dipengaruhinya. Sedangkan kata ”pemerintahan” berasal dari kata dasar ”pemerintah”, yang menunjukkan tindakan yang harus dilakukan. Menurut Strong dalam Adisubrata 2002, yang dimaksud pemerintah adalah lembaga atau organisasi yang melekat kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan negara. Juga merupakan lembaga yang memiliki tanggung jawab guna melaksanakan keamanan dari ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Pemerintahan adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dalam arti Finer dalam Adisubrata 2002 istilah pemerintahan paling tidak memiliki empat hal, yaitu a. Menunjukkan kegiatan atau proses memerintah, yang melaksanakan pengawasan atas pihak atau lembaga lain; b. Menunjukkan permasalahan-permasalahan negara atau proses memilih terhadap masalah-masalah yang dijumpai; c. menunjukkan pejabat-pejabat yang dibebani tugas-tugas memerintah; d. Menunjukkan cara-cara atau metode atau sistem yang digunakan untuk mengatur masyarakat Dengan demikian konsep pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti luas dan sempit. Pemerintah dalam arti luas adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta kepolisian dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan dalam arti sempit adalah kegiatan-kegiatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif guna mencapai tujuan pemerintahan Adisubrata, 2002 78. . Secara umum pengertian sistem pemerintahan terkait dengan sistem politik, mengingat sistem politik berkaitan a sistem pemerintahan b sistem kekuasaan yang mengatur hubungan antara individu-individu atau kelompok-kelompok individu satu dengan lainnya dan dengan negara serta hubungan negara dengan negara. Sejalan dengan itu Wahyu 2008 mengemukakan bahwa sistem pemerintahan adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh dari pemerintahan, sedangkan komponen-komponen itu adalah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing komponen tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ada beberapa pendapat terkait dengan pengertian sistem pemerintahan, antara lain dikemukakan oleh a. Sri Sumantri, sistem pemerintahan adalah bagi negara yang menganut ajaran Tri Praja, suatu perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ legislatif, eksekutif dan yudikatif yang dengan bekerjasama hendak mencapai maksud dan tujuan. b. Ismail Suny mengemukakan sistem pemerintahan adalah suatu sistem tertentu yang menjelaskan bagaimana hubungan antara alat-alat perlengkapan negara. c. Martadisastra memberikan pengertian sistem pemerintahan adalah hubungan antara organ-organ pemerintah eksekutif dengan alat perlengkapan negara-negara lainnya yang ada/menjalankan fungsinya di dalam suatu negara. Dengan demikian sistem pemerintahan dalam arti luas merupakan suatu kesatuan utuh dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan wewenang badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan dalam arti sempit merupakan suatu kesatuan utuh dalam menjalankan pemerintahan oleh badan eksekutif untuk mencapai tujuan pemerintahan.. B. Tipe-tipe, fungsi sistem politik dan pemerintahan. 1. Tipe sistem politik Kajian tentang sistem politik lebih bermakna secara teoritis, sebab tidak satupun sistem politik suatu negara yang benar-benar sama dengan sistem politik negara lain. Secara teoritik ada beberapa tipe sistem politik yang dikemukakan oleh Harold Crouh dalam Untari 2006 sebagai berikut a. Menurut Shils Shils membicarakan empat sistem politik yang sedang menjalankan modernisasi, yakni 1 Political Democracy. Demokrasi bersifat pemerintahan sipil, adanya lembaga representative dan adanya kebebasan umum public liberties. Menurut Shils, ciri-ciri demokrasi 1 adanya dewan perwakilan yang dipilih oleh rakyat, 2 terdapat lebih dari satu partai politik yang bersaing, 3 pers dan organisasi lain memiliki kekebebasan berbicara/mengeluarkan pendapat, 4 adanya kehakiman yang bebas, 5 rule of law ditegakkan. Selanjutnya Shils mengemukakan sistem politik demokrasi hanya mungkin dalam ”political society”, yang coraknya 1 perasaan nasionalisme yang kuat, 2 perhatian politik masyarakat yang cukup besar, 3 pengakuan sistem yang legitimate, 4 pengakuan hak-hak individu, 5 konsensus tentang nilai-nilai. Menurut Shils belum ada negara satupun yang memenuhi syarat ini, walaupun negara maju sekalipun. Negar-negara barat baru mendekatai syarat ini. 2 Tutelary Democracy Dalam sistem ini ditandai antara lain 1 adanya lembaga perwakilan, 2 kebebasan berbicara, 3 rule of law ada tetapi agak lemah, 4 Partai dan pers yang bebas diperkenankan, namun ada Undang-Undang yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengerem kritik-kritik yang tajam. Ciri khas tutelery democracy adalah 1 kestabilannya yang tidak dimiliki oleh political democracy., 2 hak-hak oposisi ada tetapi dibatasi; 3 tutelary democracy memerlukan suatu administrasi yang baik.; 4 organisasi penyaluran aspirasi belum berkembang; 5 civil order dibutuhkan yakni masyarakat yang menghormati hukum dan tidak menyukai kegiatan revolusioner. 3 Modernising Oligarcy Sistem politik ini terjadi manakala demokrasi gagal dilaksanakan, karena ada jurang antara elit politik yang menginginkan modernisasi dengan rakyat tradisional. Modernising oligarchy membutuhkan persyaratan 1 pemerintah membutuhkan prestasi yang lebih besar daripada demokrasi untuk meyakinkan rakyat, bahwa sistem oligarki perlu; 2 oposisi harus ditekan, 3 dalam administrasi negara korupsi harus dihapuskan untuk membuktikan bahwa sistem ini lebih baik dari pada demokrasi, 4 lembaga penyalur pendapat umum belum berkembang, 5 ideologi negara harus diciptakan dan didalangi oleh pemerintah dan menjadi pegangan rakyat. Seiring sistem ini dijalankan oleh pemerintahan militer yang kurang sanggup dalam administrasi sipil dan urusan ekonomi, karena itu Shils tidak yakin apakah sistem ini dapat berhasil atau tidak. 4 Totalitarian Oligarcy Tipe keempat dari sistem politik adalah totaliterianism, dimana golongan elit memiliki kekuatan lebih jauh dari golongan lain. Tidak ada oposisi, tidak ada dewan perwakilan yang bebas, tidak ada pendapat umum, siapa yang melawan pemerintah dipenjarakan. Menurut Shils negara Asia-Afrika mungkin akan banyak mempraktekkan sistem ini, karena pemerintahan totaliter dianggap efisien, seperti di Burma, Vietnam Utara, Cina, Afrika Selatan, Kongo, dsb. 5 Tradisional Oligarcy Tipe sistem politik ini merupakan sistem tradisional yang dipimpin oleh raja atau ningrat. Sistem ini tidak menghendaki modernisasi, sehingga saat ini jarang diketemukan. b. Menurut Organsky Organsky menerangkan bagaimana sistem politik berubah, sebab corak atau tipe pemerintahan tergantung dari masalah yang dihadapinya, sedangkan perkembangan politik terbagi dari beberapa tahap. Menurut Organsky ada tiga sistem politik, yaitu 1 Sistem Borjuis Sistem ini mula-mula berkembang di Inggris abad 19 dan meluas ke Eropa Barat. Menurut Karl Marx pada abad 19 parlemen Inggris didominasi pemimpin Borjuis. Rakyat tidak diwakili dan sistem demokrasi tidak dijalankan. Makin banyak pabrik, industri makin banyak kaum Borjuis kaum pengusaha, akibatnya kaum Borjuis menuntut kekuasaan dan secara otomatis berpengaruh terhadap pemerintahan, maka terjadilah pergeseran kekuasaan dari ningrat ke kaum Borjuis. Dalam sistem politik Borjuis kaum miskin dan buruh dijauhkan dari pemerintahan. Kaum buruh dan petani sangat sengsara, karena diperas tenaganya dan jaminan kesejahteraan kurang sekali, tidak ada serikat pekerja di pabrik-pabrik, tidak ada wadah untuk memperjuangkan. Walaupun pada awalnya berkembang di Inggris, namun Belandapun terpengaruh sistem itu, karena Belada sebagai negara penjajah di Indonesia juga menerapkan sistem itu. Hal ini bisa dilihat ketika banyak kaum buruh dan petani dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda, termasuk pengiriman ke Suriname. 2 Sistem Stalinis Sistem politik ini dikembangkan di negara-negara Komunis. Sistem ini muncul kalau ada golongan modern kuat versus golongan elit tradisional yang umumnya tidak mau menerima modernisasi dan industrialisasi. Elit tradisional tidak mau memberi konsesi, sedangkan golongan elit modern menganggap industrialisasi sesuatu yang mendesak dan tidak dapat ditunda, namun golongan ini tidak cukup kuat untuk melakukan resolusi, jika dapat melakukan pemerontakan mereka akan menggulingkan pemerintahan ningrat. Pada awalnya pemerimtahan ini didukung oleh buruh dan petani, namun karena kepentingan industrialisasi pemerintah stalinis akhirnya juga menindas golongan miskin. Kalau perlu petani dipindahkan ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik. Ini berbeda dengan sistem Borjuis, dimana petani dilindungi dan didorong masuk ke pabrik. Sedangkan sistem politik stalinis petani dipaksakan meninggalkan tanahnya dan masuk pabrik oleh karena proses modernisasi dan industrialisasi di sistem stalinis lebih ketat/keras, lebih tajam dari lebih kejam. 3 Sistem Sinkratik. Sistem sinkratik muncul sebagai pengganti sistem Borjuis. Ketika industrialisasi berkembang muncul golongan buruh yang lebih kuat dan terorganisir secara teratur. Sementara kaum Borjuis dan kaum ningrat yang bersaing sama-sama takut pada kekuatan buruh. Oleh karenanya mereka bekerjasama untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam perjanjiannya kaum Borjuis boleh memeras kaum buruh, tetapi Borjuis tidak boleh merongrong kekuasaan ningrat dengan menarik petani untuk masuk pabrik. Dengan demikian dalam sistem kedua kaum buruh dikorbankan demi industrialisasi dan kekuasaan kaum ningrat tetap bertahan, sedangkan kaum petani dilindungi oleh ningrat yang masih kuat dan kurang antosias pada industrialisasi. c. Menurut Kautsky 1 Sistem Tradisional Tipe sistem politik ini ada masyarakat pra-industrialisasi, dimana ada tiga kelas utama, yaitu ningrat, tani, dan menengah lama tukang, sarjana dan pedagang. Ningrat berkuasa karena menguasai sumber produksi, yaitu tanah. Golongan ini berkedudukan pada pemerintahan, militer dan agama. Kedua tani dan menengah lama menerima kekuasaan dari ningrat. Dengan demikian jika ada pertentangan politik, lebih pada pertentangan fraksi-fraksi di kelas ningrat. Kalau terjadi perubahan sistem itu karena perubahan ekonomi. Karena itu pada masa dahulu orang-orang yang menduduki jabatan pada masa pemerintahan pra-industri, para tokoh agama, para pedagang memiliki tanah yang luas. 2 Sistem Totalitarianism Sistem ini berbeda dengan sistem authoritarianism, yakni sistem dimana yang berkuasa memakai cara-cara yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaannya. Sedangkan sistem politik totalitarianism mencoba mengendalikan masyarakat secara total. Rejim authoritarianism hanya memberantas lawan politik yang berbahaya, tetapi rejim totalitarianism mau mengendalikan segala hal bahkan agama, keluarga, olah raga dan lain-lain. Totalitarianism tak mungkin tanpa industrialisasi, karena untuk melakukan kontrol penuh dibutuhkan tingkat teknologi dan komunikasi yang modern, sejata modern dan organisasi modern. 3 Sistem Totalitarianism Ningrat Sistem politik ini muncul manakala kelas ningrat memegang kekuasaan dan kelas lain tidak disertakan dalam pemerintahan. Dengan menggunakan metode totaliter untuk memerintah. Hal ini terjadi jika kelas lain seperti buruh, petani kelas menengah lama tidak memiliki cukup kekuatan dan tidak sanggup mendirikan pemerintahan sendiri, sementara kelas kapitalis pribumi terlalu lemah untuk membentuk pemerintahan. Jika kelas ningrat berkuasa, maka proses industrialisasi dan gerakan nasional merupakan ancaman. Kekuatan kelas ningrat dapat semakin berkurang, kemungkinan akan didukung oleh kaum kapitalis untuk membentuk rejim facis. 4 Sistem Totalitarianism Cendekiawan Sistem ini adalah suatu rejim yang dipimpin kaum ningrat dengan dukungan kaum kapitalis dan kaum menengah lama. Dalam sejarah di Eropa terjadi seperti Hitler di Jerman dan Musolini di Italia. Menurut Kautsky sistem totaliter yang dipimpin oleh kaum cendekiawan lebih mungkin terjadi di negara-negara baru, yaitu negara-negara yang baru merdeka setelah lama dijajah bangsa lain. 5 Sistem Demokrasi Menurut Kautsky, demokrasi adalah suatu sistem dimana semua golongan politik mempunyai kesempatan untuk diikutsertakan dalam proses politik dan pemeritahan. Demokrasi harus ada pemilu, lembaga perwakilan yang representatif. Demokrasi timbul kalau ada keseimbangan kelas-kelas bersaing dimana tidak satu kelaspun yang dapat menguasai semua kelas. Karakteristik Negara yang menganut sistem demokrasi, menurut Alamudi dalam Untari 2006, sokoguru demokrasi adalah 1 kedaulatan ada di tangan rakyat, 2 pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, 3 kekuasaan mayoritas, 4 jaminan hak-hak minoritas, 5 jaminan HAM, 6 pemilu yang bebas dan jujur, 7 persamaan di depan hukum, 8 proses hukum yang wajar, 9 pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, 10 pluralisme sosial, ekonomi dan politik, 11 nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat. 2. Fungsi sistem politik Fungsi sistem politik menurut Irish dan Protho dalam Sukarna 1979. tidak diartikan ” social function ”, tetapi lebih diarahkan ke pengertian ” the function of goverment” ialah mengandung arti fungsi pemerintahan, sehingga ada unsur pencapaian tujuan. Sebelum membahas fungsi ssitem politik, terlebih dahulu perlu diketahui variabel sistem politik. Untari 20062 mengemukakan ada empat variabel sistem politik, yaitu a Kekuasaan. Dalam sistem poltik kekuasaan bukanlah tujuan, kekuasaan merupakan cara untuk mencapai hal-hal yang diinginkan aktor politik. b Kepentingan. Kepentingan adalah tujuan yang dikejar oleh para pelaku politik. c Kebijaksanaan. Hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan. Kebijaksanaan dalam sistem politik biasanya diwujudkan sebagai peraturan perundang-undangan. d Budaya politik. Budaya politik merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik. Laboratorium Pancasila mengemukakan budaya politik merupakan sikap politik yang khas terhadap sistem politik dengan berbagai ragam bagiannya dan bagaimana sikap terhadap peranan warga negara dalam sistem itu. Berdasarkan empat variabel sistem politik, maka fungsi sistem politik adalah sebagai berikut a. Kapabilitas. Kapabilitas suatu sistem politik adalah kemampuan sistem dalam menjalankan fungsinya dalam rangka keberadaannya dalam lingkungan yang lebih luas. Kantaprawira 2006 mengemukakan bahwa bentuk kapabilitas suatu sistem politik berupa 1 Kapabilitas Regulatif, Kapabilitas regulatif suatu sistem politik merupakan penyelenggaraan pengawasan terhadap tingkah laku individu dan kelompok yang ada di dalamnya; bagaimana penempatan kekuatan yang sah pemerintah untuk mengawasi tingkah laku manusia dan badan-badan lainnya yang berada di dalamnya, semuanya merupakan ukuran kapabilitas untuk mengatur atau mengendalikan. 2 Kapabilitas Ekstraktif, SDA dan SDM sering merupakan pokok pertama bagi kemampuan suatu sistem politik. Berdasarkan sumber-sumber ini, sudah dapat diduga segala kemungkinan serta tujuan apa saja yang akan diwujudkan oleh sistem politik. Dari sudut ini, karena kapabilitas ekstraktif menyangkut soal sumber daya alam dan tenaga manusia, sistem politik demokrasi liberal, sistem politik demokrasi terpimpin, dan sistem politik demokrasi Pancasila tidak banyak berbeda. SDA dan SDM Indonesia boleh dikatakan belum diolah secara otpimal. Oleh karena masih bersifat potensial. 3 Kapabilitas Distributive; dan Kapabilitas ini berkaitan dengan sumber daya yang ada diolah, hasilnya kemudian didistribusikan kembali kepada masyarakat. Distribusi barang, jasa, kesempatan, status, dan bahkan juga kehormatan dapat diberi predikat sebagai prestasi riil sistem politik. Distribusi ini ditujukan kepada individu maupun semua kelompok masyarakat, seolah-olah sistem poltik itu pengelola dan merupakan pembagi segala kesempatan, keuntungan dan manfaat bagi masyarakat. 4 Kapabilitas Responsif Sifat kemampuan responsif atau daya tanggap suatu sistem politik ditentukan oleh hubungan antara input dan output. Bagi para sarjana politik, telaahan tentang daya tanggap ini akan menghasilkan bahan-bahan untuk analisis deskriptif, analisa yang bersifat menerangkan, dan bahkan analisa yang bersifat meramalkan. Sistem politik harus selalu tanggap terhadap setiap tekanan yang timbul dari lingkungan intra-masyarakat dan ekstra-masyarakat berupa berbagai tuntuan. 5 Kapabilitas Simbolik. Efektivias mengalirnya simbol dari sistem politik terhadap lingkungan intra dan ekstra masyarakat menentukan tingkat kapabilitas simbolik. Faktor kharisma atau latar belakang sosial elit politik yang bersangkutan dapat menguntungkan bagi peningkatan kapabilitas simbolik. Misalnya Ir Soekarno-Megawati, dengan keidentikan seorang pemimpin dengan tipe “panutan” dalam mitos rakyat, misalnya terbukti dapat menstransfer kepercayaan rakyat itu menjadi kapabilitas benar-benar riil. 6 Kapabilitas Dalam Negeri dan Internasional Suatu sistem politik berinteraksi dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Kapabilitas domestik suatu sistem politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya terhadap kapabilitas internasional. Yang dimaksud dengan kapabilitas internasional ialah kemampuan yang memancar dari dalam ke luar. Misalnya kebijakan sistem politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Israel, juga akan mempengaruhi sikap politik negara-negara di timur tengah. Oleh karena itulah, pengaruh tuntutan dan dukungan dari luar negeri terhadap masyarakat dan mesin politik resmi, maka diolahlah serangkaian respons untuk menghadapinya Politik luar negeri suatu negara banyak bergantung pada berprosesnya dua variabel, yaitu kapabilitas dalam negeri dan kapabilitas internasional. b. Konversi Fungsi sistem politik konversi menggambarkan kegiatan pengolahan input menjadi output yang formulasinya meliputi 1. penyampaian tuntutan interest artivculation 2. perangkuman tuntutan menjadi alternatif tindakan pembuatan aturan interest aggregation 3. pelaksanaan peraturan regulative implementation 4. menghakimi jugdment 5. komunikasi communication c. Pemeliharaan dan penyesuaian adaptation Fungsi sistem politik pemeliharaan dan penyesuaian adaptation adalah menyangkut sosialiasasi dan rekruitmen yang bertujuan untuk memantapkan bangunan struktur politik dari sistem politik Untari, 2006 18. Di dalam sejarah perjalanan pemerintahan Indonesia sejak merdeka hingga sekarang, terdapat sistem politik berbeda-beda dari satu periode ke periode lainnya, seperti sistem politik dan struktur politik di masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, maupun demokrasi Pancasila. Sukarna 1979 mengemukakan ada dua fungsi utama yang merupakan ciri esensial yang perlu ada dalam sistem politik, ialah 1 Perumusan kepentingan rakyat identification of interest in the population; dan 2 Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan selection of leaders or official decision maker. Wahyu 2008 mengemukakan ada beberapa fungsi sistem politik meliputi 1 fungsi pembuatan aturan-aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan memenuhi tuntutan; 2 fungsi output dari kegiatan pembuatan keputusan adalah pembuatan peraturan rule making, pelaksanaan peraturan rule aplication dan penyelesaian konflik rule ajudication function. 3 fungsi perumusan kepentingan rakyat identification interest in the population, dan 4 fungsi pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan selection of leaders of official decision maker Di negara demokrasi yang penduduknya sudah maju pemilihan pemimpin atau pejabat pembuatan keputusan di negara itu melalui proses kompetisi atau persaingan yang berat, sehingga lebih berat bila dibandingkan pada negara atau masyarakat feodal dan negara kediktatoran. Pemilihan pemimpin pada masyarakar feodal atau kediktatoran dilakukan dengan cara menjilat ke atasan. Siapa yang loyal, dekat dengan pemimpin yang lebih tinggi dengan mudah menjadi pemimpin atau pejabat.. Di Indonesia, proses pemilihan pemimpin berbeda dari masa ke masa kepemimpinan. Saat ini, seorang calon pemimpin disamping harus melalui tes and property, juga sarat lain, misal loyalitas dan tidak pernah berbuat kriminal. Dengan demikian sistem politik di Indonesia adalah suatu sistem politik yang berlaku atau sebagaimana adanya di Indonesia, baik seluruh proses yang utuh maupun hanya sebagian saja; Sistem politik Indonesia dikatagorikan dan berfungsi sebagai mekanisme yang sesuai dengan dasar negara, ketentuan konstitusional maupun juga memperhitungkan lingkungan masyarakat secara riil Kantaprawira, 2006 86. Wahyu 2008 mengemukakan ada 4 komponen dalam sistem politik, yaitu 1 Kekuasaan. Kekuasaan sebagai suatu cara untuk mencapai hal yang diinginkan/tujuan bersama. 2 Kepentingan Kepentingan merupakan tujuan yang dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok politik 3 Kebijaksanaan Kebijaksanaan merupakan hasil interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan. 4 Budaya politik. Budaya politik merupakan orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik. C. Sifat Sistem Politik. Pada umumnya sistim politik mempunyai sifat yang universal, yaitu a. Proses. Proses adalah pola-pola yang dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antara satu dengan yang lain misalnya dalam suatu negara ada lembaga-lembaga negara seperti parlemen, partai politik, birokrasi, badan peradilan, badan eksekutif dan lain-lain. b. Struktur Struktur mencakup lembaga-lembaga formal dan informal. c. Fungsi. Fungsi dalam sistem politik ada dua, yaitu fungsi input dan fungsi output. Fungsi input terdiri atas sosialisasi politik, rekruitmen politik, artikulasi menyatakan kepentingan, agregasi memadukan kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output terdiri atas pembuatan peraturan, penerapan peraturan, dan ajudikasi pengawasan peraturan. D. Tipe-Tipe Sistem Pemerintahan Di negara-negara demokrasi modern terdapat dua model utama sistem pemerintahan dengan berbagai variasinya. Model tersebut adalah sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlamenter. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahannya, dan masing-masing tumbuh dan berkembang atas dasar pemikiran, asumsi, dan sejarahnya. Sistem presidensial khususnya di Amerika Serikat, beranggapan bahwa pemisahan kekuasaan badan-badan pemerintahan menjadi unsur pokok yang dapat mencegah peluang untuk terjadinya tirani dan kediktatoran. Teori tentang pemisahan kekuasaan dari Montesquieu ini kemudian menjadi doktrin yang mengilhami sistem pemerintahan presidensial dalam konstitusi Amerika Serikat. Sementara itu, sistem parlementer umumnya lebih mengutamakan hubungan kelembagaan yang erat partnership atau kemitraan dalam konteks Inggris antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif dan cabang legislatif pemerintahan. Sistem semi-presidensial merupakan kombinasi antara dua model klasik itu, tetapi dengan variasi dan praktek yang berbeda-beda antara satu negara dengan yang lain. a. Sistem pemerintahan parlementer Sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan di mana tugas-tugas pemerintahan dipertanggungjawabkan oleh kepala pemerintahan perdana menteri kepada parlemen. Sistem pemerintahan parlementer di mana antara ekskutif dan legeslatif terdapat hubungan erat dan saling mempengaruhi. Kabinet bertanggung-jawab dan dibubarkan oleh legislatif. Sistem Pemerintahan Parlementer umumnya negara berlatar belakang kerajaan menganut sistem pemerintahan parlementer. Misalnya Inggris dengan sebagian negara-negara yang tergabung dalam Commonwealth-nya, Jepang, Thailand, dan sebagainya. Karenanya ada yang mengaitkan kedekatan sistem parlementer dengan negara- negara dengan negara-negara kerajaan. Tetapi tidak semua negara dengan pemerintahan parlementer kepala negaranya raja atau ratu. Ada negaranegara republik yang sistem pemerintahannya parlementer seperti Singapura, Italia, dan India. Presiden dalam sistem parlementer kekuasaannya hanyalah simbolik. Tentunya banyak variasi dan jenis sistem parlementer. Sistem pemerintahan parlementer cenderung labil tidak mantap, terutama bila dalam Negara itu diterapkan sistem multipartai. Namun bila menganut dwipartai, di mana satu partai pendukung pemerintah mayoritas yang berkuasa posisi diimbangi dengan partai oposisi minoritas, maka kecenderungan kelabilan dapat dikurangi. Dengan sistem pemerintahan parlementer dapat diterapkan teori trias politika, baik melalui separation of powers pemisahan kekuasaan maupun distribution of powers pembagian kekuasaan. Contoh Inggris, Malaysia, India. b. Sistem pemerintahan presidensial Sistem pemerintahan presidensial yaitu sistem pemerintahan dimana tugas-tugas pemerintahan dipertanggungjawabkan oleh presiden kepala pemerintahan Dalam sistem pemerintahan pesidensial, pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada presiden, sedangkan kekuasaan kehakiman atau pengadilan menjadi tanggung jawab supreme court Mahkamah Agung. Kekuasaan untuk membuat undang-undang berada pada parlemen DPR atau kongres senat dan parlemen Amerika. Dalam praktek sistem pemerintahan presidensial ada yang mengembangkan ajaran trias politica Montesquieu secara murni dengan separation of powers, seperti Amerika yang dikenal praktek-prektek check and balance. Praktek-praktek demikian bertujuan agar di antara ketiga kekuasaan tersebut selalu terdapat keseimbangan dalam keadaan teretentu. Sistem presidensial pun bisa ditemukan dalam bentuk yang bervariasi di sejumlah negara. Misalnya saja antara sistem pemerintahan presidensial gaya Amerika Serikat berbeda dengan sistem presidensial gaya Indonesia atau negara- negara lain. Sistem pemerintahan model Amerika secara teoritis merupakan model pemerintahan presidensial yang murni. Konstitusi RI jelas telah menetapkan sistem pemerintahan presidensial. Pemerintahan presidensial mengandalkan pada individualitas yang mengarah pada citizenship. Sistem pemerintahan presidensial bertahan pada citizenship yang bisa menghadapi kesewenang-wenangan kekuasaan dan juga kemampuan DPR untuk memerankan diri memformulasikan aturan main dan memastikan janji presiden berjalan. Pemerintahan presidensial memang membutuhkan dukungan riil dari rakyat yang akan menyerahkan mandatnya kepada capres. Namun, rakyat tak bisa menyerahkan begitu saja mandatnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan capres. Artinya, rakyat menuntut adanya ide pembangunan, bukan semata-mata identitas dari capres. Rakyat tak cukup disuguhi jargon abstrak soal NKRI, ideologi Pancasila, ekonomi kerakyatan, ekonomi kebangsaan, atau perlunya penghapusan dikotomi Islam santri dan Islam abangan yang hanya menunjukkan politik identitas. Perlu ada transformasi dari perjuangan identitas menjadi perjuangan ide. Pemerintahan presidensial Indonesia Pasca-Pemilu 2004 juga menghadapi tantangan lain. Tantangan yang dimaksud adalah memastikan adanya pemerintahan yang efektif, yang tidak selalu dirongrong oleh parlemen. Dalam parlemen yang terfragmentasi dan majemuknya representasi identitas, maka pemerintahan presidensial akan menghadapi tantangan. Secara konstitusional, DPR mempunyai peranan untuk menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan, membuat undang-undang dan peranan lain seperti penetapan pejabat dan duta. Presiden tak lagi bertanggung jawab pada DPR karena ia dipilih langsung oleh rakyat. DPR tak akan mudah melakukan impeachment lagi karena ada lembaga pengadil yakni Mahkamah Konstitusi. Meskipun peranannya telah mengecil, DPR dengan kekuatan politik yang menyebar berpotensi untuk terus mengganggu dan mengganggu eksekutif. Dengan perilaku politik yang tak banyak berubah, DPR masih punya peluang untuk mengganjal kebijakan presiden dalam menentukan alokasi budget, DPR masih bisa bermanuver untuk membentuk pansus atau panja, DPR bisa mengajukan undang-undang yang mungkin tak sejalan dengan kebijakan presiden. Di sinilah deadlock bisa terjadi. Melihat real politik yang ada, koalisi memang diperlukan. Namun, agar tak mengganggu sistem presidensial yang dianut dan adanya pemerintahan yang efektif, koalisi dibangun dengan tetap mengacu pada prinsip sistem presidensial. Presiden berhak menunjuk anggota kabinetnya untuk merealisasikan ide dan program pembangunan yang dimilikinya, jika memang ada. Kehendak mitra koalisi untuk meminta portofolio menteri dan memaksakan ide atau program sebenarnya menyimpang dari prinsip sistem presidensial. Melihat realitas politik yang ada, baik dari sisi konstitusional maupun munculnya capres-capres yang tak mempunyai dukungan mayoritas, banyak orang meragukan akan hadirnya pemerintah yang efektif. Pemerintah yang mampu memberikan arah dan merealisasikan program yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis. Banyak orang yang khawatir, yang muncul justru adalah pemerintahan yang tidak efektif, namun juga sulit untuk dijatuhkan. Ke depan, sistem pemerintahan presidensial mempunyai pekerjaan rumahnya sendiri, yakni bagaimana mendorong parlemen yang akan didominasi muka-muka baru untuk lebih memikirkan substansi kebijakan. Perpolitikan ke depan harus didorong ke arah adanya kontestasi ide, lebih dari sekadar kontestasi identitas. Perlu ada perjuangan untuk mentransformasikan dari perjuangan identitas menjadi perjuangan ide. Dengan itu, kelembagaan politik lebih mudah dikelola dan lembaga-lembaga di luar mesin politik resmi ikut memegang peranan signifikan. c. Sistem Pemerintahan Campuran Sistem ini telah menyita perhatian para ahli untuk melakukan kajian. Beberapa ahli menyebut sistem ini sebagai campuran antara dua sistem presidensial dan parlementer di atas. Pendapat lain menyebutnya sistem yang berada di antara presidensial dan parlementer sebagai sistem presidensial. Negara-negara yang menjalankan sistem semi-presidensial misalnya adalah Prancis, Finlandia, Austria, Argentina, Irlandia, Islandia dan Portugal, Srilanka melalui konstitusi 1978 dan sistem yang berlaku dulu di Jerman tahun 1919 di bawah Republik Weimar. Para pendukungnya menyebut sebagai sistem yang mengambil keuntungan dari sistem presidensial. Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran. Sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia tidaklah murni menganut teori trias politika karena selain adanya ekskutif, legeslatif dan yudikatif, masih ditambah kekuasaan konstitutif MPR, eksaminatif atau inpektif BPK, dan konsultatif konsultatif dengan sistem distribution of powers atau pembagian kekuasaan. e. Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial adalah sebagai berikut a. Ciri secara Umum - Kedudukan presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan; - Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau sebuah badan pemilih; - Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif; - Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakannya pemilu. - Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan atas kekuatan-kekuatan politik yang menguasai parlemen; - Anggota kabinet seluruhnya atau sebagian adalah anggota parlemen; l Perdana menteri bersama cabinet bertanggungjawab kepada parlemen; - Kepala negara raja/ratu atau presiden dengan saran perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum. b. Ciri menurut Strong - Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan - Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih - Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum - Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen - Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen - Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum. c. Ciri secara rinci - Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan - Presiden tidak dapat membubarkan cabinet - Presiden bertanggungjawab jalannya pemerintahan - Menteri bertanggungjawab kepada presiden - Menteri diangkat dan diberhentikan presiden - Masa jabatan menteri dapat ditentukan, yaitu bersamaan presiden Seluruh menteri merupakan pilihan presiden hak prerogative - Kekuasaan parlemen sejajar dengan pemerintah - Raja presiden sebagai kepala negara - Raja presiden sebagai symbol kedaulatan dan keutuhan negara. - Kepala negara tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan. - Raja presiden dapat membubarka parlemen. - Menteri bertanggung jawab jalannya pemerintahan. - Menteri bertanggung jawab kepada diangkat dan diberhentikan oleh Parlemen. - Masa jabatan cabinet tidak dapat ditentukan , karena tergantung dukungan parlemen. Seluruh atau sebagian menteri merupakan anggota parpol yang ada di parlemen. - Kekuasaan parlemen lebih kuat daripada pemerintah PM /Dewan Menteri d. Ciri menurut Budiyanto - Dikepalai oleh seorang presiden selaku pemegang kekuasaan ekskutif kepala pemerintahan sekaligus kepala Negara - Kekuasaan ekskutif presiden dijalankan berdasarkan kedaulatan rakyat yang dipilih dari dan oleh rakyat melalui badan perwakilan - Presiden mempunyai hak prerogative untuk mengangkat dan memberhentikan para pembantunya menteri, baik yang memimpin departemen maupun tidak. - Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada presiden dan bukan kepada DPR. - Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, maka presiden tidak dapat saling menjatuhkan dengan DPR. - Kekuasaan legeslatif DPR lebih kuat daripada kekuasaan ekskutif pemerintah= perdana menteri - Menteri-menteri cabinet harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada DPR. Artinya, cabinet harus mendapat kepercayaan mosi dari parlemen. - Program-program cabinet harus disesuaikan dengan sebagian besar anggota parlemen. Bila cabinet melakukan penyimpangan terhadap program-program kebijaksanaan yang dibuat maka anggota parlemen dapat menjatuhkan cabinet dengan memberi mosi tidak percaya kepada pemerintah. - Kedudukan kepala Negara raja, ratu, pangeran, kaisar hanya sebagai lambing,symbol yang tidak dapat diganggu gugat. f. Kelebihan dan Kekurangan masing-masing sistem pemerintahan Arend Lijphart dalam buku Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial menyebutkan sistem parlementer dan presidensial mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan presidensial akan menjadi kelemahan parlementer dan sebaliknya. a. Arend Lijphart Dalam stabilitas pemerintahan demokrasi yang lebih besar pemerintahan yang lebih terbatas Hubungan baik ekskutif dengan legeslatif dlm waktu tertentu Pemrintah lebih meluas Kemandekan deadlock eksekutif-legislatif kekakuan temporal pemerintahan yang lebih eksklusif Cenderung tidak stabil Dominasi partai Pemerintah tidak terbatas b. Menurut - Ekskutif lebih stabil kedudukannya - Penyususnan program cabinet lebih mudah disesuaikan dengan masa jabatan - Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan ekskutif, karena dapat diisi oleh orang luar - Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat, karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara ekkutif dengan legeslatif - Kekuasaan ekskutif dan legeslatif berada dalam satu partai koalisi - Garis tanggungjawab dalam pelaksanaan publik jelas - Pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap cabinet - Kedudukan ekskutif cabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen, sehingga sewaktu-waktu cabinet dapat dijatuhkan parlemen - Kekuasaan ekskutif di luar pengawasan langsung legislatif, sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak - Sistem pertanggungjawaban kurang jelas - Pembuatan keputusan/kebijakan publikumumnya hasil tawar menawar ekskutif dan - Kedudukan ekskutif cabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen, sehingga sewaktu-waktu cabinet dapat dijatuhkan parlemen - Kelangsungan kedudukan ekskutif tidak dapat ditentukan,karena sewaktu-waktu dapat dibubarkan - Kebinet dapat mengendalikan parlemen, apabila para anggota cabinet merupakan anggota parlemen dari partai mayoritas legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu lama 4 Fungsi Sistem Pemerintahan Agar pemerintah berjalan efekiif, maka ada 3 tiga persyaraan yang harus dipenuhi yaitu a. kemampuan untuk mengawasi angkatan bersenjata; b. kewenangan untuk membuat undang-undang; c kekuasaan finansial, yaitu kewenangan untuk memungut pajak dan cukai atau bentuk pengutan lain dari rakyat guna biaya mempertahankan negra serta menjalankan hukum. Atau singkat kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta kepolisian Tujuan pemerintahan adalah untuk mencapai kesejahteraan dalam negara. Untuk itulah diperlukan usaha dan kegiatan untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Usaha dan kegiatan itu meliputi bagaimana alat perlengkapan negara mencapai dan dengan apa dicapai. Pelaksana yang diberi tugas untuk mencapai kesejahteraan tersebut adalah pemerintah, sedangkan bagaimana dan dengan cara apa mencapai kesejahteraan tersebut cara mengatur/memerintah. Cara mengatur/memerintah terkait dengan suatu sistem. Sistem pemerintah menjelaskan bagaimana hubungan antara alat perlengkapan negara mencapai dan bekerja untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat. Secara umum alat-alat perlengkapan negara yang terdapat dalam suatu negara meliputi a. Lembaga legislatif, merupakan lembaga atau badan pembuat undang-undang. b. Lembaga eksekutif, merupakan lembaga atau aparat pelaksana undang-undang; c. Lembaga yudikatif, yaitu lembaga yang bertugas di bidang kehakiman atau kekuasaan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara terhadap pelanggaran undang-undang. d. Lembaga lainnya yang merupakan alat perlengkapan negara seperti di Indonesia terdapat BPK, Mahkamah Konstitusi, KPU, Komisi Yudisial dsb Berdasarkan penjelasan di atas maka yang dimaksud sistem pemerintahan merupakan hubungan antara organ pemerintah dengan organ-organ lain yang ada dalam suatu negara. Sistem pemerintahan secara umum ada dua yaitu 1 sistem pemerintahan Presidensiil dan 2 sistem pemerintahan parlementer. Untuk memahaminya dapat dibaca pada perbandingan sistem pemerintah pada sub berikutnya. D Kedudukan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia di dasarkan pada Trias Politika, dengan sistem distribution of power yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggotanya mewakili propinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing. Berdasarkan pasal 3 ayat 1 MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. DPR berdasarkan pasal 20 ayat 1 memegang kekuasaan membentuk UU, sedangkan DPD berdasarkan pasal 22 ayat 1 dapat mengajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah dengan pusat, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selanjutnya DPD ikut membahas rancangan tersebut di atas, dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang, APBN, pajak, pendidikan dan agama, serta mengawasi pelaksanaan UU tersebut ayat 2 dan 3 Majelis Permusyawaratan Rakyat DPR/DPD semula adalah lembaga tertinggi negara. Sekarang setelah UUD 1945 diamandemen kedudukan MPR sebagai lembaga negara. Seluruh anggota DPR adalah anggota MPR ditambah anggota DPD. Sebelumya konstitusi UUD 1945, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua Lembaga eksekutif berpusat pada Presiden, wakil Presiden dan Kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategi umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai berasal dari seseorang yang dianggap Ahli dalam bidangnya. Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi termasuk pengaturan administradi para Hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan dalam pelaksanaan administradi putusan peradilan. Di negara manapun, kedudukan sistem politik dan pemerintahan sangat menentukan implementasi para penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sistem politik demokrasi, selalu akan melibatkan rakyat dalam menentukan public policy, adanya perwakilan rakyat yang represen-tatif, perlindungan hak asasi manusia, penegakan hukum yang bebas, kepentingan rakyat diutamakan. Sebaliknya bagi negara totaliter, keterlibatan rakyat kurang diperhatikan, semua sektor dikendalikan oleh pemerintah, rakyat kurang bebas berbicara.. Berawal dari sistem politik itulah akan menentukan corak atau sistem pemerintahan. Dengan demikian kedudukan sistem politik juga akan menentukan sistem pemerintahan. Keduanya merupakan mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 setelah diamandemen adalah sebagai berikut badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakimanKYUUD 1945PUSAT DAERAHTUNMiliterAgamaUmumLingkungan Peradilankpu bank sentralDPR DPDMPRPERWAKILAN BPK PROVINSILEMBAGA-LEMBAGA DALAM SISTEM KETATANEGARAANmenurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945BPK MA MKTNI/POLRIdewan pertimbanganKementerian NegaraPresiden/Wakil PresidenPEMDA PROVINSIDPRDKPDPEMDA KAB/KOTADPRDKPDSumber Sosialiasi UUD 1945 setelah diamandemen. E. Perbedaan sistem politik dan Sistem Pemerintahan. 1. Perbedaan Sistem Politik Berbicara tentang perbandingan sistem politik di Indonesia, tidak terlepas dari interpretasi terhadap sistem politik itu sendiri. Sistem politik di Indonesia sebagai seluruh proses sejarah dari saat berdirinya negara Indonesia sampai dewasa ini, atau hanya dalam periode-periode tertentu dari proses perjalana sejarah. Dalam kenyataan kita dapat menjumpai perbedaan-perbedaan esensial sistem politik di Indonesia dari satu periode ke periode yang lain, misalnya sistem poiltik demkorasi liberal, sistem demokrasi terpimpin, sistem demokrasi Pancasila, sedangkan falsafah negara tetap tidak berubah. Apa sebabnya ini terjadi? Apa penyebab adanya perbedaan bahkan gejala bertolak belakang antara cita-cita dan implementasinya? Jawabanya mengandung dua kemungkinan yang harus dipertimbangkan dan diselidiki lebih lanjut, yaitu 1 falsafah tidak banyak berpengaruh terhadap sistem poltik, artinya juga tidak berpengaruh terhadap aktor perilaku politik; atau 2 belum ditemukan standar dan model sistem politik Indonesia yang sesuai dan menyangga mendukung cita-cita tadi. 1. Demokrasi Liberal. Di Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3 Nopember 1945, yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui Maklumat Pemerintah. Sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama. Demokrasi liberal dikenal pula demokrasi-parlementer, oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dengan demikian demokrasi liberal di Indonesia secara formal berakhir pada tanggal 5 Juli 1959, sedangkan secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi Terpimpin dilaksanakan, antara lain melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal 10 Nopember pada saat Konsepsi Presiden tanggal 21 Pebruari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional. Pada periode demokrasi liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya. lihat pada tabel 1 di bawah ini 2. Demokrasi Terpimpin Dalam periode demokrasi terpimpin ini pemikiran a la demokrasi barat banyak ditinggalkan. Tokoh politik Soekarno yang memegang pimpinan nasional ketika itu menyatakan bahwa demokrasi liberal demokrasi-parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif dan ia kemudian memperkenalkan apa yang disebut musyawarah untuk mufakat. Sistem multi-partai oleh tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan, karena masyarakat lebih didorong ke arah bentuk yang fragmentaris. Demokrasi ini berlaku sejak 5 Juli 1959 sampai dengan 11 maret 1966. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian dibentuk badan yang disebut front nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner, disebut demikian karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan itu misalnya Presiden membubarkan DPR, Badan Konstituante, dan sebagainya. 3. Demokrasi Pancasila Penelaahan terhadap Demokrasi Pancasila tentu tidak dapat bersifat final di sini, karena masih terus berjalan dan berproses. Dalam demokrasi Pancasila sampai dewasa ini penyaluran berbagai tuntutan yang hidup dalam masyarakat menunjukkan keseimbangan. Pada awal pelaksanaan sistem politik ini dilakukan penyederhanaan sistem kepartaian, muncullah satu kekuatan politik yang dominan, yaitu Golkar dan ABRI. Dalam perjalanan PEMILU berikut sejak, setelah orde reformasi, bermuncullah partai politik, yang ketika masa Orde Baru melebur ke tiga partai besar yaitu Golkar, PPP dan PDI. Hingga munculnya Amandemen terhadap UUD 1945, falsafah Negara yaitu Pancasila masih tetap tidak berubah, bahkan dipertahankan sebagai hukum dasar nasional TAP No. III/MPR/2000. Kegagalan tiga partai besar dalam perannya sebagai lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan tidak berfungsinya chek and balance, akibat terpolanya sistem politik kompromistis dari elit politik, justru tidak mencerminkan wakil rakyat yang sesungguhnya. Karena itulah muncul ketidakpuasan rakyat, dan muncullah gerakan reformasi, salah satu dampaknya adalah lahir kembali partai-partai kecil. Partai-partai kecil ini ada yang murni berdiri tanpa melalui induk semangnya, tetapi ada yang memisahkan dari induknya. Nilai-nilai demokrasi Pancasila yang harus tetap dijunjung tinggi adalah kehidupan politik adalah a Sebagai warga negara punya hak dan kewajiban yg sama b Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain c Tidak boleh memaksakan kehendak pada orang lain d Mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan e Musyawarah untuk mencapai mufakat, diliputi semangat kekeluargaan f Musywarah dilakukan dengan akal sehat dan nurani yg luhur g Menjunjung tinggi setiap keputusan h Menerima dan melaksanakan hasil keputusan i Keputusan diambil harus dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. j Memberi kepercayaan kepada wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan . lebih lanjut lihat pada tabel 1 di bawah ini Lebih lanjut perbandingan sistem politik di Indonesia yang dianalisis berdasarkan demensi masalah dan dimensi waku dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1 Perbandingan Sistem-sistem Politik di Indonesia Demensi Waktu Demensi masalah ≈ tuntutan lebih besar dari pada kapabilitas sistemnya ≈ tuntutan lebih besar dari pada kapabilitas sistemnya ≈ tuntutan sudah mulai seimbang dengan kapabilitas ≈ selektor dan filter sangat lemah, semua input diterima sedangkan output tidak seimbang dengan tuntutan. ≈ Melalui sistem multipartai ≈ gaya nilai mutlak melalui front nasional dan sistem satu partai yang tak kentara. ≈ stabilitas semu pseudo stability sistemnya ≈ melalui sistem partai dominan atau sistem satu setengah partai Pemeliharaan dan kontinuitas nilai ≈ keyakinan akan HAM sangat tinggi ≈ berdasarkan keyakinan ideologi, gaya pragmatik kurang menonjol. ≈ pertarungan antara gaya ideologi versus garapragmatik ≈ HAM banyak dihiraukan ≈ pemikirn ideologik berperanan menonjol. ≈ konflik meningkat atau bahaya laten. ≈ HAM diimbangi oleh kewajiban asasi. ≈ gaya pragmatik menonjol. ≈ kontinuitas nilai bernegara dikukuhkan berdasarkan UUD 1945 dan konflik menurun. ≈ pengolahan potensi ekstratif dan distributif menurut ekonomi bebas dilakukan oleh kabinet yang pragmatik, sedangkan kapabilitas simbolik lebih diutamakan oleh kebinet ideologik ≈ keadilan mendapat perhatian kabinet ideologik, sedangkan kemakmuran oleh kabinet pragmatik. ≈ pemerintah berperanan besar dalam pengelolaan ekstraktif dan distributif ≈ ekonomi bebas ditinggalkan, mulai ekonomi etatisme. ≈ kapabilitas simbolik melalui pembangunan bangsa dan pembangunan karakter ≈ kapabilitas responsif melemah karena saluran satu-satunya hanyalah front nasional FN ≈ ekonomi bebas sampai batas-batas tertentu menjadi kebijaksanaan pemerintah ≈ kapabilitas dalam negeri menjadi mantap dan karenanya menunjang kapabilitas internasionalnya penanaman modal asing, bantuan asing, dan pinjaman mengalir. ≈ antara elit politik dengan massa atas ≈ ikatan primordial melemah dalam ≈ Komunikasi dua arah mendekatkan dasar pola aliran hubungan atas – bawah ≈ Hubungan bawah – atas berdasar-kan pola paternalistik rangka nation- building ≈ Pola paternalistik tetap hidup subur hubungan elit dan massa dalam soal-soal yang pragmatic. ≈ Kepemimpinan secara bergantian antara solidarity makers dan dan administrators. ≈ Solidarity makers lebih mendapat angin ≈ Pertentangan antar elit solidarity makers versus administrators di menangkan oleh penghimpunan solidarity. ≈ Antar elit ditemukan, consensus tentang pembangunan ≈ kerjasama antar teknokrat khususnya antara intelegensia militer dan intelegesia sispil ≈ administrators mendapat ang≈ ideologik, karenanya bersifat desinegratif. ≈ desintegratif elit tercermin dalm masyarakat sebagai schisme. ≈ masih bersifat ideologik , walau sudah ada penyederhanaan kapartaian. ≈ tokoh politik sebagai titik pusat politik bertindak sengat coercive. ≈ gaya ideologik sudah tidak manggung/ menonjol. ≈ gaya pragmatik yang berorientasi pada program serta pemecahan masalah lebih menonjol.. ≈ berasal dari angkatan 1928. ≈ masih bersifat primordial aliran, agama, suku, dan daerah ≈ partai-partai politik yang manggung.. ≈ berasal dari angkatan 1928 dan 1945 dengan tokoh politik; Soekarno sebagai titik pusatnya. ≈ Kharismatik dan paternalistik. ≈ bersifat legal atas dasar ketentuan konstitusionil. ≈ ABRI sebagai titik pusat dibantu oleh teknokrat sipil.. Perimbangan partisipasi politik dengan kelembagaan a Massa ≈ partisipasi massa sangat tinggi. ≈ deviasi terhadap anggapan rakyat telah mempunyai kebudayaan politik partisipasi sebenarnya masih berbudaya politik kaula dan parokhial. ≈ partisipasi massa hanya melalui Front Nasional. ≈ output simbolik meningkat dengan adanya rapat-rapat raksasa untuk mendukung regim ≈ partisipasi massa dikembalikan dan terbatas dalam peristiwa tertentu saja pemilihan umum, karena konsep ” the floating mass” ≈ karena pengaruh demokrasi barat, maka supremasi sipil lebih menonjol ≈ peristiwa 17 oktober 1952 merupakan titik balik menuju perkembangan selanjutnya ≈ Sejak dwan nasional dan front nasional partisipasi mantan pejuang meningkat dan termasuk dalam golongan fungsional. ≈ partisipasi tentara seha dewan nasional dan front nasional, dengan indikator pos-pos penting kenegaraan dipegang oleh militer. ≈ partisipasi veteran meningkat melalui angkatan 1945, Pepabri, dll. ≈ partisipasi tentara makin meningkat dengan doktrin, kekayaan dan dwi-fungsi ABRI ≈ partisipasi dalam lembaga perwakilan melalui pengangkatan. Pola pembangunan Aparatur Negara ≈ berlangsung pola bebas. ≈ afiliasi dengan partai sering menyebabkan loyalitas kembar yang inefektif ditinjau dari ≈ loyalitas kembar dari pegawai negeri golongan tertentu menjadi tidak dibenarkan. ≈ pemingkatan pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan depolitisasi pegawai negeri dan diarahkan pada usaha pembentukan golongan profesi.. ≈ terjadi stabilitas politik yang berakibat negatif bagi usaha-usaha pembangunan ≈ Stabilitas bersifat semu, yang dipertahankan dengan cara-cara tangan besi ≈ stabilitas ini tidak dipergunakan untuk memperhatikan pembangunan ekonomi ≈ meningkat melalui scurity approach di samping persuasive approach ≈ yang hendak dicapai adalah stabilitas dinamis. E. Perbedaan sistem pemerintahan di Indonesia. Secara umum sistem pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia hanya ada dua, yaitu 1 sistem pemerintahan presidensiil dan 2 sistem pemerintahan parlementer. 1. Sistem Pemerintahan Presidensial Dalam sistem pemerintahan Presidensial kedudukan kepada negara sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan yang dimiliki Presiden merupakan kekuasaan riil dan dengan kedudukan demikian untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. Sistem pemerintahan Presidensial Non-Parlementary Executive kelangsungan hidup ekskutif tidak tergantung pada lembaga legislatif, mengingat kedudukan eksekutif relatif kuat, karena itu ciri sistem pemerintahan Presidensial a kekuasaan di dasarkan prinsip pembagian kekuasaan distribustion of power, b eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen, demikian juga sebaliknya parlemen tidak bisa menjatuhkan eksekutif, c tidak ada pertanggung jawaban bersama mutual responsibility antara presiden dan kabinet, karena tanggung jawab pemerintahan terletak di tangan Presiden selaku kepala Pemerintahan. Menurut Witman Wuest dalam Untari 2006 dikemukakan bahwa sistem pemerintahan Presidensiil dapat digambarkan pada bagan berikut ini. Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa 1 terdapat prinsip pembagian kekuasaan; 2 ada keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif dan keduanya tidak bisa saling menjatuhkan atau membubarkan, 3 pertanggung jawaban bersama mutual responsibility antara Presiden dan Kabinetnya tidak ada, tanggung jawab hanya terletak di tangan Presiden selaku kepala Pemerintahan. Namun demikian Presiden mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri negara. 2. Sistem Pemerintahan Parlementer Sistem pemerintahan parlementer, kekuasaan parlemen lebih menonjol dibandingkan kekuasaan presiden atau raja. Dalam hal ini kedudukan presiden atau raja hanya sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan atau kekuasaan riil dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri beserta kabinetnya tunduk dan bertanggung jawab pada parlemen. Dalam sistem ini hubungan lembaga eksekutif dan legislatif sangat erat. Namun terkesan kedudukan legislatif lebih kuat dari pada eksekutif. Seberapa lama eksekutif memegang kepercayaan dalam mengendalikan pemerintahan sangat tergantung pada kepercayaan dalam mengandalikan pemerintahan sangat tergantung pada kepercayaan dan dukungan parlementer. Dalam sistem pemerintahan parlementer terdapat a didasarkan atas prinsip penyebaran kekuasaan, b terdapat adanya pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan kabinet, c Perdana Menteri, diangkat oleh kepala negara berdasarkan dukungan mayoritas legislatif, Presiden, Actual and Titular Executive Cabinet Heads Administrative Departement, responsible to President only d Kedudukan dan pertanggungjawaban bersama antara eksekutif dan kabinet dalam arti eksekutif dapat membubarkan parlemen sebaliknya eksekutif/ kabinet dapat meletakkan jabatan manakala parlemen menyatakan mosi tidak percaya. Menurut Allan R. Ball dalam Untari 2006 disebutkan bahwa ciri-ciri sistem pemeritahan parlementer adalah a Kepala negara berperan sebagai pemimpin formal dan seremonial serta mempunyai pengaruh politik yang kecil. Kepala negara bisa seorang raja/ratu Inggris, Belanda atau Presiden. b Pemimpin politik Perdana Menteri atau konselir diangkap berdasarkan dukungan parlemen. c Anggota parlemen dipilih untuk suatu periode tertentu berdasarkan pemilihan umum. Tanggal pemilihan umum ditentukan oleh Kepala negara formal atas persetujuan perdana menteri atau konselir. Dengan demikian sistem pemerintahan menggambarkan bagaimana cara mengatur, menata hubungan antara alat perlengkapan negara dalam rangka mencapai keinginan bangsa Indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpukan bahwa fungsi sistem pemerintahan antara lain 1 Sistem pencapaian cita-cita seluruh rakyat 2 pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan 3 bentuk interaksi kehidupan politik riil dalam negara 4 penerapan sistem politik Selanjutnya sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat pada bagan berikut ini. PM, Premier of Chancelor, Actual Executive Cabinet, Heads of Administrative Depart, Responsible to Prime Minister/Premier/Chan- cellor and or Lesgislature Dari bagan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa 1 terdapat prinsip penyebaran kekuasaan; 2 ada keseimbangan antara eksekutif dengan legislatif. Eksekutif dapat membubarkan legislatif dan sebaliknya, legislatif harus meletakkan jabatannya manakala kebijakan-kebijakan tidak didukung oleh mayority parlemen atau legislatif; 3 terdapat pertanggungan jawab bersama mutual responsibility antara Presiden dan Kabinet. Demikian sistem politik dan pemerintahan, dimana penggolongan hanya bersifat teoritis, sebab dalam prakteknya seringkali karakteristik sistem yang satu dipadukan dengan sistem lainnya. Namun demikian untuk membuat kajian dan perbandingan hal perlu dilakukan. G. Supra Struktur dan Infra Struktur Politik di Indonesia 1. Supra Struktur Politik. Supra struktur politik adalah kelembagaan negara yang terdapat dalam UUD yang berlaku di Indonesia. Lembaga kekuasaan negara itu mengalami perubahan dan perkembangan mengikuti perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Lembaga infra struktur politik adalah lembaga politik yang dibentuk oleh masyarakat atas dasar kebebasan warga negara dalam berorganisasi dan berserikat. Infra struktur politi itu dapat dibedakan kepada a. Partai politik, yaitu organisasi sosial politik yang anggotanya memiliki suatu haluan dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk berkuasaan melalui sistem pemilihan umum yang berlaku dalam negara. b. Organisasi masyarakat Ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM atau forum komunikasi politik yang dibentuk oleh masyarakat. Organisasi ini dibentuk oleh masyarakat dengan berbagai tujuan melakukan kegiatan dalam bidang sosial, budaya dan agama, serta tidak bergerak dalam politik praktis, seperti Muhammadyah dan Nahdathul Ulama NU. Supra struktur politik di Indonesia terjadi perubahan sesuai perkembangan konstitusi yang berlaku. Berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen, supra struktur politik Indonesia terdiri dari lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, yaitu 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Lembaga Tertinggi Negara yang memegang kedaulatan rakyat. 2 Lembaga Tinggi Negara, yaitu a Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. b Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang bersama Presiden dan sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. c Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan dalam bidang kehakiman yang tertinggi. d Badan pemeriksa Keuangan yang bertugas memeriksa keuangan yang dijalankan oleh pemerintah yang hasilnya dilaporkan kepada Dewan perwakilan Rakyat. e Dewan Pertimbang Agung yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan serta mengajukan usul dan saran kepada Presiden. Sedangkan Supra Struktur politik berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat RIS, 1949 adalah alat-alat perlengkapan negara federal, yaitu 1 Presiden, sebagai kepala negara. 2 Menteri Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. 3 Senat, sebagai perwakilan negara bagian. 4 Dewan perwakilan Rakyat sebagai wakil rakyat seluruh wilayah Indonesia. 5 Mahkamah Agung sebagai lembaga Yudikatif yang memegang kekuasaan kehakiman. 6 Dewan Pengawas Keuangan sebagai badan pemerinksa keuangan yang dijalan oleh pemerintah sesuai dengan APBN. Kelembagaan negara tersebut belum berjalan dengan sepenuhnya karena masa berlakunya Konstitusi RIS sangat singkat 1949-1950. Setelah kembali kepada bentuk negara kesatuan, maka Konstitusi RIS dirubah menjadi UUD Semntara 1950. dengan lembaga supra struktur politik adalah 1 Presiden dan Wakil Presiden yang berfungsi sebagai kepala negara. 2 Menteri-Menteri yang diketuai oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. 3 Dewan Perwakilan Rakyat DPR yang berfungsi sebagai lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang serta mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah bertanggung jawab kepada DPR. 4 Mahkamah Agung yaitu lembaga kekuasaan kehakiman yang tertinggi dalam negara. 5 Dewan Pengawas Keuangan, yaitu lembaga yang berwenang memeriksa keuangan negara yang dijalankan oleh pemerintah. Pada masa pemerintahan Orde lama supra struktur politik sesuai dengan UUD 1945, namun tidak dibentuk melalui pemilihan umum. Di samping itu, keenam lembaga negara dikendalikan sepenuhnya oleh kelembagaan Presiden. Lembaga lain sepeperti MPR, DPR dan MA di bawah kepemimpinan Presiden. Pada Masa Orde Baru lembaga tertinggi dan tinggi negara telah terbentuk melalui pemilihan umum yang berlangsung secara berkala 5 tahun sekali Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan sebanyak empat kali, pelaksanaan demokrasi berlandasan kepada pokok-pokok pemerintahan negara sebagai berikut 1 Negara Indonesia adalah negara hukum pasal 1 ayat 3 2 Kedaulatan ditangan rakyat dan dilasanakan menurut undang-undang dasar pasal 1 ayat 2 3 Majlelis Permusyawaratan Rakyat MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik dan memperhentikan Presiden menurut undang-undang dasar. pasal 3 4 Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih satu kali lagi lihat pasal 4 –7. 5 Presiden dapat diberhentikan MPR setelah diputuskan bersalah melanggar undang-undang dasar oleh Mahkamah Konstitusi. Presiden tidak dapat membekukan DPR pasal 7B dan C. 6 Presiden memegang kekuasaan sebagai kepada negara, membentuk Dewan Pertimbangan, mengangkat para menteri, membentuk dan membubarkan kementerian menurut undang-undang lihat pasal 10-17. 7 Pemerintah Daerah bersifat otonom yang diatur dengan undang-undang lihat pasal 18 dan 18A dan B. 8 DPR memegang kuasa membuat undang-undang, memiliki fungsi legislasi, anggran dan pengawasan pasal 20 dan 20A. 9 Dewan Perwakilan Daerah DPD mempunyai kekuasan membuat undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah pasal 22D. 10 Pemilihan Umum dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil LUBER-JURDIL, yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat mandiri. pasal 22E. 11 Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang bebas dan mandiri yang anggotanya dipilih oleh DPR dan dilantik oleh Presiden, serta mempunyai wakil di daerah-daerah. 12 Kekuasaan Kehakiman bersifat merdeka yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Lihat dan amatilah struktur kelembagaan negara kita setelah Perubahan UUD 1945 sebagai pelaksaan demokrasi di masa reformasi dan coba bandingkan dengan masa sebelumnya! Kelembagaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945 Legislatif Eksekutif Yudikatif 2. Infra Struktur Politik di Indonesia Menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang Partai Politik, yang dimaksuk Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Jadi tujuan partai politik adalah mengembangkan kehidupan demokrasi dan memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bernegara. Fungsi Partai Politik adalah a. Fungsi sosialisasi politik, yaitu melaksanakan pendidikan politik. b. Fungsi partisipasi politik, yaitu menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. c. Fungsi rekrutmen politik yaitu kegiatan mencari dan mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota dll. sesuai dengan mekanisme demokrasi. d. Fungsi pemandu kepentingan, yaitu lembaga demokrasi merupakan wahana kegiatan menyatakan dukungan dan tuntutan proses politik Kekuasan Kehakiman MK MA KY e. Fungsi komunikasi politik, menyalurkan informasi dan keinginan timbal balik antara rakyat dengan pemerintah. f. Fungsi pengendali konflik, yaitu turut memecahakan dan menyelesaikan perselisihan antara berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat. g. Fungsi kontrol politik, yaitu kegiatan mengontrol kekuatan yang dijalankan oleh pemerintah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Setiap negara mempunyai infra struktur politik yang berbeda-beda, di Indonesia secara umum terdiri atas 1. Partai Politik. Munculnya organisasi modern di awal abad kedua puluh yang ditandai dengan lahirnya pergerakan Budi Utomo, Serikat Islam dapat disebut sebagai pertanda lahirnya partai pertama di Indonesia, selanjutnya berdirilah partai-partai politik lain, Setelah kemerdekaan tradisi partai politik di Indonesia dimulai dengan munculnya usul yang diajukan oleh BPKNIP untuk berfungsi sebagai parlemen yang disampaikan kepada pemerintah. Usul itu menuntuk kepada pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luaskannya kepada masuyarakat mendirikan partai politik demi mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 3 Nopember 1945 keluarlah Maklumat Pemerintah yang ditandatangai oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Maka tumbulah partai politik seperti cendawan tumbuh, menurut Alfian partai politik tersebut dalam digolongan kepada a. Aliran nasionalis, yaitu PNI, PRN, PIR Hazairin, Parindra, Partai Buruh, SKI, PIR-Wongsonegoro dll. b. Partai Islam, seperti Masjumi, NU, PSII dan Perti c. Aliran Komunis, seperti PKI, SOBSI dan BTI d. Aliran Sosialis, sperti PSI, GTI dll. e. Aliran Kristen/Nasrani, sperti Partai Katolik dan Parkindo. Pegelompokan itu juga tak lepas dari kekuatan Jepang yang membagi aliran dalam politik Indonesia kepada golongan Nasional opportunis, Nasional Islam dan Komunis/Sosialis. Partai Politik di masa demokrasi Liberal pada tahun 1950an mendapat kesempatan secara bebas untuk masuk kepada pemerintahan, namun belum adanya partai yang memiliki dukungan nrakyat secara mayoritas, maka konflik-konflik dan pertentangan ideologi mulai memuncak. Setelah Pemilu 1955 ditemukan peta kekuatan politik, yaitu Partai beraliran nasionalis 27,6%, Beraliran Islam 45,2%, beraliran komunis 15,2% dan sisanya dari aliran Kristen dan Sosialis. Ekses negatif dari peranan partai politik masa demokrasi liberal adalah kedudukan pemerintah labil, kesempatan yang kurang bagi pemerintah untuk melaksanakan programnya, keputusan politik dilakukan melalui perhitungan voting, oposisi yang menampakan citra negatif dan iklim kebabasan membuka peluang terbentuknya partai-partai baru. Partai politik di masa demokrasi terpimpin Orde lama memberikan kesempatan kepada Presiden Sukarno dan Militer serta Partai Komunis untuk lebih berkuasa, hal ini disebabkan oleh kestabilan nasional yang terganggu sehingga Presiden mengeluarkan pengumunan negara dalam keadaan perang SOB. Pada pemerintahan Sukarno ada kecenderungan untuk menguburkan partai politik termasuk PNI yang didirikannya karena selalu menimbulkan konflik. Besarnya pengaruh Sukarno sehingga partai politik tidak berdaya, akan tetapi demokrasi terpimpin yang dilaksanakan ternyata yang ada hanya terpinpinnya saja, sedangkan demokrasinya hilang.. Partai politik di masa Orde Baru, kegagalan G30S/PKI telah mengakhiri demokrasi terpimpin. Orde Baru melakukan pembaharuan politik. Pemilu 1971 terbentuk peta politik 9 partai politik dan satu Golkar, yaitu Golkar 62,8%, NU 18,67%, Parmusi 7,36%, PNI 6,94%, PSII 2,39%, Parkindo 1,34%, Katholik 1,11% dan Perti 0,7%.. Orde Baru cenderung memisahkan politik dengan ekonomi, keterlibatan ABRI dalam politik erat kaitannya dengan Dwi Fungsi dimana peranan kaum sipil kurang mampu mengatasi krisis, Golkar merupakan kepanjangan tangan militer di lembaga sipil sehingga kedudukan partai politik semakin terdesak. Di samping itu Golkar dengan dukungan militer memobilisasi organisasi fungsional masyarakat untuk mendukungnya sehingga semakin melemahnya posisi partai politik. Semenjak Pemilu 1977 partai politik disederhanakan menjadi dua PPP dan PDI dan Golkar, kemudian pada pemilu 1987 semua partai harus berasaskan Pancasila sehingga PPP yang beraliran Islam ditinggalkan banyak pendukung tradisonalnya, sedangkan kelompok kritis yang menghendaki pembaharuan politik mulai mendukung PDI. Partai politik di masa Reformasi 1998, telah membuka peluang masyarakat mendirikan partai, sehingga menghadapi Pemilu 1999 hadir partai politik sebanyak 48 Partai, namun tidak satu mencapai kursi mayoritas, diantara lima besar adalah PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB dan PAN. Suatu hal masih belum berubah dalam budaya politik Indonesia adalah masih kuatnya budaya politik primordial, masyarakat masih menggantungkan aspirasi politiknya kepada tokoh karsimatik sehingga alam kebebasan belum dapat membuka jalan kearah demokratisasi. Dalam menghadapai pemilihan umum tahun 2004 jumlah partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum sudah berkurang, yaitu 24 partai politik. Namun tidak ada partai yang menguasai mayoritas di DPR, terdapat beberapa partai yang mempunyai dukungan yang cukup untuk lolos ke pemilihan umum 2009, yaitu Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. 2. Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam suatu sistem politik negara modern yang bersifat demokratis usaha untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat secara efektif dan efesian adalah melalui pengorganisasian aspirasi masyrakat yang dapat dibedakan atas a. Organisasi yang memngkhususkan diri berperan dalam menentukan keputusan-keputusan kenegaraan di lembaga perwakilan DPR yang kemudian disebut partai politik. b. Organisasi yang memperlancar pelaksanaan aspirasi masyarakat dalam salah satu aspek kehidupan yang kemudian disebut organisasi non-politik atau disebut juga sebagai lembaga Swadaya Masyarakat. LSM. LSM secara luas meliputi seluruh Organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara indonesia untuk berperan serta di dalam sistem politik negara. Pada hakikatnya LSM tidak memiliki aktifitas politik secara langsung di lembaga perwakilan rakyat. Namun secara tidak langsung LSM dapat mempunyai hubungan komunikasi politik dengan DPR sesuai dengan bidang kegiatanya. Dalam suatu istilah yang umum LSM disebut sebagai kelompok penekan Pressure group, yaitu kelompok yang secara formal tidak berperan dalam kegiatan politik praktis, namun tetap melaksanakan kegiatan politik itu secara tidak alngsung. Dalam suatu masyarakat demokrasi liberal kelompok penekan itu adalah golongan kepentingan interst group yang keinginan agar kepentingannya tetap diperhatikan dalam pengambilan keputusan kenegaraan. Dalam negara semenjak reformasi LSM secara bebas mempengaruhi DPR dalam pengabilan keputusan, seperti banyak LSM atau organisasi masyasrakat melakukan pendekatan ke DPR dan bahkan melakukan unjuk rasa agar kepentingannya diakomodir dalam penbuatan undang-undang. Maraknya demonstrasi pro dan kontar pada tahun 2005 terhadap rancangan undang-undang Anti Porno grafi dan Porno aksi yang akan diputuskan di DPR adalah karena dukungan atau tekanan dari kepentingan LSM dalam masyarakat. Dalam suatu negara demokrasi LSM dapat menjadi ujung tombak perubahan sistem politik suatu negara, karena dia berhubungan secara langsung dengan aspirasi masyarakat. Beberapa faktor yang menyebabkan LSM lebih dekat dengan aspirasi masyarakat adalah a. Pembentukan LSM tidak membutukan persyaratan yang lebih ketat seperti pembentukan Parti Politik, khususnya dari segi jumlah keanggotaan. b. Kegiatan LSM sangat bersentuhan dengan kegiatan sehari-hari dalam masyarakat, seperti LSM yang bergerak dalam amal sosial. c. LSM memiliki akar budaya yang lebih kuat di dalam struktur masyarakat. d. LSM dalam masyarakat Indonesia lebih otonom, dapat hidup dalam rejim pemerintahan yang berbeda. Cobalah amati organisasi masyarakat Muhammadiyah yang dirikan oleh Ahmad Dahlan pada zaman Belanda, masih tetap kuat samapi saat ini karena suatu LSM yang besar dan otonom yang tidak tergantung kepada irama kekuasaan pemerintahan. Begitu juga Nahdatul Ulama dengan jumlah anggotanya puluhan juta yang juga dirikan semenjak zaman Belanda , tetap kuat sampai saat ini karena sifat otonom dan berakar dalam sistem budaya dan kepercayaan masyarakat. Kedua organisasi masyarakat ini secara tidak langsung tidak terlibat dalam kegiatan politik, namun anggotanya adalah elit politik di dalam partai dan DPR, sehingga kepentingannya secara tidak langsung dapat mewarnai keputusan-keputusan politik yang dibuat dalam lembaga legislatif DPR. Dalam masyarakat demokratis menjamurnya jumlah LSM sebagai perwujudan dari kebebasan seseorang warga negara dalam berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lissan dan tulisan, sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945. dalam masyarakat Indonesia LSM tumbuh dan berkembang suatu dengan bidang kegiatannya, seperti bidang kegiatan keagamaan dan sosial, bidang perburuhan, bidang lingkungan, pendidikan dan sebagainya. Berikut ini jenis-jenis kegiatan LSM, yaitu a. Organisasi profesi, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia, PGRI , Persatuan Wartawan Indonesia PWI, Persatuan Insinyur Indonesia PII, Persatuan Dokter Indonesia PDI dll. b. Organisasi Para Pekerja, sperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. SPSI. c. Asosiasi Veteran, seperti Legium Veteran Republik Indonesia. d. Gerakan Pemuda, seperti Komite Nasional Indonesia Pusat KNPI, Himpunan Mahasiswa Islam HMI dll. e. Gerakan Wanita, seperti Komite Wanita Indonesia Kowani. f. Kelompok Ideologi dan agama, seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadyah. H. Peran serta dan orientasi politik rakyat terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengaruh sikap dan orientasi politik rakyat terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam realitasnya tidak bisa terlepas dari budaya politik yang berkembang di masyarakat sesuai dengan masanya. Walaupun dewasa ini sudah banyak negara yang menanggalkan sistem politik yang dianggap tidak cocok, namun dalam prakteknya perilaku dan sikap para elit politik dan pejabat negara masih ada yang menerapkan budaya-budaya politik yang ada dan pernah ada. Ketika Suharto berkuasa, budaya politik “ sendiko dawuh”, “ atas petunjuk bapak.....” seakan sudah melekat pada sikap dan perilaku elit politik dan pejabat negara saat itu. Hal ini disebabkan oleh kekuatan tertentu yang dimiliki penguasa saat itu, seperti kharismatik, kekuatan penguasa yang didukung oleh militer, kaum cendekiawan, kaum pengusaha/kapitalis dan mungkin rakyat karena tekanan secara formal maupun non formal. Sehingga sikap dan orientasi politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti kemauan para penguasa dan elit politik pengambil keputusan negara. Hal ini bisa didukung sepenuhnya oleh rakyat, karena ekonomi rakyat saat itu mampu memberikan kesejahteraan, keamanan dan rasa tentram. . Selanjutnya seperti kita dengar sebelum pidato kenegaraan menjelang tanggal 17 Agustus 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, elit politik yaitu Megawati menegaskan kepada elit politik dan kader-kadernya untuk tidak menggunakan interupsi ketika pidato kenegaraan walaupun itu dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat dipatuhi penuh oleh para elit politik dan kader-kadernya, siapa melanggar seakan melawan terhadap elit politik di atasnya. Ini menunjukkan bahwa pengaruh dan sikap politik rakyat para kader-kader masih mengikuti pola politik kaula. Namun juga perlu disadari bahwa pola semacam itu sifatnya komtemporer, tidak tetap dan selalu berubah-ubah karena situasi dan kondisi. Dengan demikian pengaruh sikap dan orientasi rakyat Indonesia terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih tunduk pada instruksi elit politik. Hal ini bisa tejadi karena dipengaruhi oleh budaya politik keningratan ”ewuh pakewuh ” atau ” sungkanism”, yaitu suatu sikap politik yang apabila berbeda pendapat, hanya disimpan, tidak berani berbicara/mengemukakan pendapat dan apabila berani dianggap perlawanan/pembangkangan. Tentu saja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di era demokrasi justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bahmueller dalam Untari 2006, bahwa tegaknya demokrasi dipengaruhi oleh 1 faktor ekonomi, 2 sosial dan politik, serta 3 budaya dan sejarah. BAB III KESIMPULAN Sistem politik ialah kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan yang berhubung-hubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan secara melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain dengan negara dan hubungan negara dengan negara. Sistem pemerintahan ialah suatu sistem yang membicarakan bagaimana hubungan lembaga negara dari suatu pemerintahan. Secara umum alat perlengkapan lembaga negara meliputi 1 lembaga legislatif, 2 eksekutif, 3 yudikatif dan 4 lembaga lain yang merupakan alat perlengkapan negara seperti BPK, KPU, Komisi Yudisial, dsb. Dengan demikian disimpulkan bahwa sistem pemerintahan terkait dengan sistem politik, mengingat sistem politik terkait dengan 1 sistem pemerintahan dan 2 sistem kekuasaan. yang mengatur hubungan antara individu-individu atau kelompok individu yang satu dengan lainnya dan dengan negara serta hubungan negara dengan negara. DAFTAR PUSTAKA. Adisubrata, Winarna Surya, 2002. Etika Pemerintahan. Yogjakarta UPP AMP YKPN. Alhaj, dkk. 2001. Pendidikan Pancasila. Jakarta Univeritas Terbuka. Easton, David, 1965. A Sistem Analysis of Political Life. Ohn Wiley & Sons Inc., New York – London – Sidney. Kantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta Sinar Baru Algesindo. Lab IPS & PMP, 1991. Tata Negara, Jilid 2. Malang PPPG IPS dan PMP Malang. Laboratorium Pancasila, 2001, Bangsa Indonesia Dalam Dinamika Reofrmasi. Harapan dan Tantangan. Malang Universitas Negeri Malang. Mas’oed, Mohtar, 1986. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta Gajah Mada University Press. Sukarna, 1979. Sistem Poltik. Bandung Alumni. Syafiie, Inu Kencana, 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta Rineka Cipta. ... The political system is a principle and mechanism that forms an interconnected unity to regulate government and maintain power by regulating the relationship between individuals or groups with state relations [1]. Besides that politics can also be interpreted as an effort taken by citizens to realize the common good. ...... Simple Additive Weight method requires the decision matrix normalization process X to a scale that can be compared with all available alternative ratings. The formula for normalization is as follows 1 where ij r = Normalized performance rating The process of searching data from the criteria needed to determine the vice presidential candidate is done by creating an online questionnaire form using Google docs media. The questionnaire form was distributed through WhatsApp applications so that it was expected that many parties could fill out the questionnaire and could also be known to the anime or public interest in determining the vice presidential candidate for the 2019-2024 period. ...... Then the process of entering each value and criterion into a table is obtained so that the matrix table is found in Table IV. The process of finding a normalized matrix is done by normalizing the matrix X based on equation 1. Then the values of normalization of benefits become r1,1 = 8 / max{5;5;5;5;5} = 8 / 5 = r1,2 = 4 / max{5;5;5;5;5} = 4 / 5 = r1,3 = 8 / max{5;5;5;5;5} = 8 / 5 = r1,4 = 4 / max{5;5;5;5;5} = 8 / 5 = r1,5 = 8 / max{5;5;5;5;5} = 4 / 5 = ...Simple Additive Weighting SAW method is a method that can be applied in the process of selecting candidates for vice presidential candidates for the period 2019-2024. Determining the criteria, weight, and the alternative of each person is different-this makes the decision very difficult to do, requires a lot of choice, time and cost. The purpose of the research conducted is to provide a choice of solutions or considerations in selecting a vice presidential candidate in determining the best deputy leader in accordance with the needs and desires of the community. Accuracy in the provisions of the criteria for selecting a vice presidential candidate is necessary because some of the candidates who run for vice president are not well known to the public, and some do not meet the requirements of the criteria to become a vice presidential candidate. For the registration of presidential candidates in the KPU, it is still on 4-10 August 2018, but it is estimated that the strongest candidates are Joko Widodo and Prabowo Subianto, therefore here we will predict who can be the vice presidential candidate from Joko Widodo and Prabowo Subianto camp by using the SAW method, it is useful to know the weight of each criterion as the parameters of the vice presidential Politik Indonesia. Jakarta Sinar Baru AlgesindoRusadi KantaprawiraKantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia. Jakarta Sinar Baru Indonesia Dalam Dinamika ReofrmasiLaboratorium PancasilaLaboratorium Pancasila, 2001, Bangsa Indonesia Dalam Dinamika Reofrmasi. Harapan dan Tantangan. Malang Universitas Negeri Sistem PolitikMohtar Mas'oedMas'oed, Mohtar, 1986. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta Gajah Mada University Pemerintahan Indonesia. Jakarta Rineka CiptaInu SyafiieKencanaSyafiie, Inu Kencana, 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta Rineka AlhajAlhaj, dkk. 2001. Pendidikan Pancasila. Jakarta Univeritas Poltik. Bandung AlumniSukarnaSukarna, 1979. Sistem Poltik. Bandung Alumni. Senin 29 Juni 2015. Administrasi Negara, dilihat dari segi Analisa Sistem : · Sistem adalah merupakan kebulatan dari bagian yang saling bergantung. · Sistem terdiri dari gugus-gugus komponen yang bekerja sama untuk kepentingan tujuan sebagai suatu keseluruhan. · Sistem adalah kompleks unsur-unsur yang saling berinteraksi.
Kumpulan Soal Pilihan Ganda Materi Administrasi Keuangan1. Interaksi antara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat...A. InternB. EksternC. FungsionalD. DeterministikJawabanB. Ekstern2. Dalam konteks model sistem, administrasi keuangan negara merupakan suatu proses yang bersifat dialektis, maksudnya adalah ...A. Antara faktor subjek dan objek serta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapiB. Melengkapi prosesC. Alat pengarah dan penilai sampai sejauhmana suatu sistem bergerak ke arah tercapainya tujuanD. Interaksi antar komponen atau subsistem dalam sistem administrasi keuanganJawabanA. Antara faktor subjek dan objek serta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi3. Prinsip APBN yang berkaitan erat dengan bantuan luar negeri adalah prinsip anggaran ...A. BerimbangB. TradisionalC. FungsionalD. Dinamis absolutJawabanC. Fungsional4. Anggaran dapat menjadi instrumen untuk pembagian kembali pendapatan dalam bentuk pembiayaan tranfer atau subsidi, karena anggaran memiliki fungsi ..A. AlokasiB. AkumulatorC. StabilisasiD. DistribusiJawabanD. Distribusi5. Sistem anggaran yang relatif tepat digunakan pada saat perekonomian mengalami inflasi adalah sistem anggaran ...A. SurplusB. BerimbangC. DefisitD. TradisionalJawabanA. Surplus6. Masalah yang memerlukan keputusan dalam siklus anggaran PPBS terutama yang berkaitan dengan biaya, arah program, dan alternatif kebijaksanaannya merupakan masalah ...A. Program utamaB. Struktur programC. Program indukD. ProgramJawabanA. Program utama7. Fungsi utama yang relatif efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam konteks keuangan negara adalah ...A. AlokasiB. StabilisasiC. DistribusiD. AkumulatorJawabanA. Alokasi8. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil adalah ...A. Traditional budgetB. Performance budgetC. Balance budgetD. Planning, programming budgeting systemJawabanB. Performance budget9. Semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah adalah ...A. Pendapatan daerahB. Belanja daerahC. PembiayaanD. Belanja pembangunanJawabanD. Belanja pembangunan10. Tahapan dalam siklus anggaran daerah yang memiliki kaitan erat dengan aspek akuntabilitas adalah ...A. Budget preparationB. Ratifikasi anggaranC. Budget implementationD. Pelaporan dan evaluasi anggaranJawabanD. Pelaporan dan evaluasi anggaran11. Tahapan dalam siklus anggaran daerah yang melibatkan proses politik adalah ...A. Budget preparationB. Budget ratificationC. Budget implementationD. Pelaporan dan evaluasi anggaranJawabanB. Budget ratification12. Yang dikategorikan dalam PAD Pendapatan Asli Daerah adalah ...A. Dana alokasi umum, hibah, pajak daerahB. Pajak daerah, pajak darurat, hibahC. Dana bagi hasil, pajak daerah, retribusiD. Retribusi daerah, pajak daerah, pendapatan bungaE. Retribusi daerah, pajak daerah, dana daruratJawabanD. Retribusi daerah, pajak daerah, pendapatan bunga13. Yang termasuk sumber pendapatan negara antara lain ...A. Retribusi dan cukaiB. Dana Alokasi Umum dan BUMNC. Dana Alokasi Khusus dan pajak daerahD. Dana Alokasi Khusus dan migasE. Pajak Pertambahan Nilai dan Bea MasukJawabanE. Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Masuk14. Yang tidak termasuk pajak dalam negeri adalah ...A. Pajak Pertambahan NilaiB. Pajak Bumi BangunanC. Pajak PenghasilanD. CukaiE. Bea MasukJawabanE. Bea Masuk15. Yang tidak termasuk unsur-unsur penerimaan negara adalah ...A. Subsidi daerah otonomB. Laba BUMNC. Bea MasukD. Pajak EksporE. Pajak Pertambahan NilaiJawabanA. Subsidi daerah otonom16. Berikut adalah sumber pendapatan daerah1 PAD2 dana perimbangan3 pendapatan hibah4 dana darurat5 pajak daerahYang termasuk kelompok lain-lain pendapatan yang sah adalah ...A. 1, 2B. 2, 3C. 3, 4D. 4, 5E. 3, 5JawabanA. 1, 217. Salah satu fungsi pemerintah dalam konteks administrasi keuangan negara adalah sebagai akumulator, maksudnya adalah ...A. Mengalokasikan sumber dana untuk mengadakan barang/jasa umumB. Menyeimbangkan, menyesuaikan pembagian pendapatan dan mensejahterakan masyarakatC. Meningkatkan kesempatan kerja serta pertumbuhan ekonomi yang mantapD. Menghimpun dan menyalurkan dana dan daya untuk sebesar mungkin dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakatJawabanD. Menghimpun dan menyalurkan dana dan daya untuk sebesar mungkin dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat18. Berikut yang bukan merupakan fungsi anggaran yaitu ...A. Fungi PerencanaanB. Fungsi PengawasanC. Fungsi KoordinasiD. Anggaran Sebagai Pedoman KerjaE. Fungsi AkuntabilitasJawabanE. Fungsi Akuntabilitas19. Berikut yang merupakan jenis anggaran menurut bidangnya yaitu ...A. Anggaran biaya operasional dan anggaran keuanganB. Anggaran jangka pendek dan anggaran jangka panjangC. Anggaran kontiniu dan anggaran periodikD. Anggaran parsial dan anggaran komprehensifE. Anggaran appropriasi dan anggaran kinerjaJawabanA. Anggaran biaya operasional dan anggaran keuangan20. APBN merupakan instrumen untuk mengendalikan perekonomian saat terjadinya inflasi atau deflasi. Hal ini menggambarkan fungsi APBN,yaitu..A. AlokasiB. StabilisasiC. DistribusiD. StandardisE. AkuntabilitasJawabanB. Stabilisasi21. Pada penyusunan APBN,pemerintah menetapkan belanja negara lebih sedikit dari pada penerimaan negara. Dengan demikian,penyusunan APBN tersebut menerapkan kebijakan anggaran....A. DefisitB. DinamisC. SurplusD. Seimbang dinamisE. BerimbangJawabanC. Surplus22. Anggaran pendapatan dan belanja negara yang defisit ada kebaikanya, yaitu dapat ...A. Memfungsikan uang menganggurB. Memperluas kesempatan kerjaC. Menghemat pengeluaran negaraD. Membiayai proyek-proyek yang beresiko tinggiE. Menekan laju inflasiJawabanC. Menghemat pengeluaran negara23. Yang bukan merupakan azas penyusunan APBN adalah ...A. PenghematanB. Peningkatan efisiensiC. Pemasukan berdasar pengeluaranD. Manajemen prioritas pembangunanE. KemandirianJawabanC. Pemasukan berdasar pengeluaran24. Dana yang masuk ke kas negara yang berasal dari pungutan pajak digunakan untuk membangun sarana jalan tol. Fungsi pajak dalam hal ini adalah fungsi ...A. AlokasiB. PengembanganC. StabilitasD. PemerataanE. DistribusiJawabanA. Alokasi25. Berikut hal-hal yang berhubungan dengan APBN1 Minyak bumi dan gas alam2 Pajak ekspor3 Subsidi daerah otonom4 Pajak penghasilan5 Gaji pegawai6 Bunga dan cicilan utangYang merupakan sumber penerimaan negara adalah ...A. 1, 2, 5B. 2, 4, 6C. 1, 3, 4D. 2, 5, 6E. 1, 2, 4JawabanE. 1, 2, 426. Sebagai sumber pendapatan negara adalah ...A. Pajak bumi dan bagunanB. Pajak penghasilan dan pajak barang mewahC. Bantuan program dan bantuan proyekD. Penerimaan negara dan penerimaan pembangunanE. Minyak bumi dan gas alamJawabanD. Penerimaan negara dan penerimaan pembangunan27. Hal yang berhubungan dengan APBN1 Pembiayaan pembangunan rupiah2 Pembiayaan proyek3 Dana perimbangan4 Dana alokasi umum5 Belanja pegawai6 Dana alokasi khususYang merupakan belanja/pengeluaran daerah adalah ...A. 1, 3, 6B. 3, 4,6C. 1, 2, 5D. 4, 5, 6E. 2, 4, 5JawabanC. 1, 2, 528. Bukan merupakan dampak APBN dalam kegiatan ekonomi ...A. Berpengaruh negatif terhadap APBDB. Memperbaiki kestabilan ekonomiC. Menimbulkan investasi masyarakatD. Berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomiE. Berperan meningkatkan kegiatan produksiJawabanA. Berpengaruh negatif terhadap APBD29. Sebagai dasar untuk menerima pendapatan dan melakukan belanja, merupakan salah satu fungsi APBN; yaitu fungsi ...A. PerencanaanB. OtorisasiC. PengawasanD. AlokasiE. DistribusiJawabanB. Otorisasi30. Dana Perimbangan dalam APBN diantaranya adalah ...A. Pajak daerahB. HibahC. Dana bagi hasilD. Retribusi daerahE. Retribusi daerah dan pengelolaan kekayaan daerahJawabanC. Dana bagi hasil31. Unsur-unsur pengeluaran anggaran belanja, yaitu1 Belanja barang2 Cicilan utang3 Pembelian kendaraan dinas4 Bantuan proyek5 Subsidi daerah otonomHal yang termasuk pengeluaran rutin, yaitu…A. 1,2 dan 3B. 1,3 dan 4C. 2,3 dan 4D. 1,2 dan 5E. 3,4 dan 5JawabanD. 1,2 dan 532. Pendapatan daerah meliputi sumber-sumber berikut ini, kecuali…A. Pendapatan asli daerah yang berasal dari hasil pajak dari retribusi daerahB. Penerimaan sumber daya alamC. Hasil perusahaan milik daerahD. Dana perimbanganE. Pinjaman daerahJawabanE. Pinjaman daerah33. Anggaran pendapatan dan belanja desa ditetapkan setiap tahun dengan ....A. Peraturan desaB. Peraturan bupatiC. Peraturan daerahD. Undang-undangJawabanA. Peraturan desa34. Jika pengeluaran pemerintah ditentukan dengan melihat akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional, maka jenis kebijakan fiskal yang digunakan adalah ...A. Pembiayaan fungsionalB. Pengelolaan anggaranC. Stabilisasi anggaran otomatisD. Anggaran belanja seimbangJawabanA. Pembiayaan fungsional35. Anggaran merupakan suatu rencana kerja yang dinyatakan secara kuantitatif yang diukur dalam satuan moneter standar dan satuan ukuran yang lain yang menvakup jangka waktu satu tahun. Pengertian anggaran tersebut menurut ....A. Glenn A WelschB. GomesC. MulyadiD. SupriyonoE. AnthonyJawabanC. Mulyadi36. Alat ukur yang paling tepat digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara disebut … .A. Pemungutan pajakB. Kebijakan anggaranC. Pendapatan perseoranganD. APBN dan APBDE. Pendapatan per kapitaJawabanE. Pendapatan per kapita37. Belanja pemerintah pusat dalam APBN antara lain…A. Dana perimbanganB. Dana alokasi khususC. Dana bagi hasilD. SubsidiE. Dana alokasi umumJawabanD. Subsidi38. Retribusi termasuk ke dalam jenis…A. Pajak langsungB. IuranC. SumbanganD. HibahE. Pungutan resmiJawabanE. Pungutan resmi39. Tujuan penyusunan APBN adalah ...A. Memperbesar pendapatan dan pengeluaran negara dengan sebaik-baiknyaB. Agar uang yang diterima negara dan bersumber dari pajak dapat digunakan sebaik-baiknya untuk tujuan pembangunanC. Agar penggunaan uang negara dapat digunakan sebaik-baiknya untuk tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakatD. Agar penggunaan uang negara yang berasal dari tabungan dapat digunakan sebaik mungkin sesuai dengan undang-undang yang berlakuE. Mengatur sedemikian rupa sehingga penggajian dan pembiayaan yang dilakukan pemerintah lebih bermanfaatJawabanC. Agar penggunaan uang negara dapat digunakan sebaik-baiknya untuk tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat40. Menurut pendapat penganut anggaran belanja berimbang dalam hal terpaksa terjadi ketidakstabilan ekonomi pada waktu depresi, anggaran yang dipakai adalah anggaran ...A. SurplusB. DisesuaikanC. DefisitD. LebihE. SeimbangJawabanE. Seimbang41. Pada APBN, pajak yang diterima dapat disalurkan pada berbagai proyek pembangunan. APBN dalam hal ini menjalankan fungsi ...A. DistribusiB. PengembanganC. StabilisasiD. AlokasiE. RelokasiJawabanD. Alokasi42. Komponen berikut yang termasuk sumber-sumber penerimaan negara adalah..A. Retribusi dan cukaiB. DAK dan pajak kendaraan bermotorC. DAU dan laba BUMND. Pajak pertambahan nilai dan bea masukE. DAK dan pendapatan migasJawabanB. DAK dan pajak kendaraan bermotor
Dalamsuatu pemerintahan sebuah negara tidak bisa terlepas dari sistem politik, karena sistem politik adalah interaksi antara lembaga-lembaga negara dan lembaga individual yang Pasal 13 UU no. 18 tahun 2011 mengenai perubahan atas UU no. 22 tahun 2004 tentang komisi yudisial yang bersifat mandiri dan mempunyai kewenagan untuk mengusulkan
- Definisi politik terkait erat dengan pembagian kekuasaan dalam suatu negara atau masyarakat. Lantas, apa saja pengertian sistem politik menurut para ahli dan bagaimana ciri-ciri umumnya maupun ciri khas yang diterapkan di Indonesia?Ada banyak jenis sistem politik yang diterapkan bangsa-bangsa di dunia, dari demokrasi, federasi, feodalisme, parlementer, presidensial, semi-parlementer, semi presidensial, teokrasi, monarki, republik, negara-kota, meritokrasi, direksional, hingga kediktatoran bahkan Indonesia sendiri pernah menerapkan jenis sistem politik yang berbeda dari waktu ke waktu, termasuk beberapa kali pergantian sistem politik dari awal kemerdekaan hingga akhir Orde Lama, kemudian berlanjut rezim Orde Baru, era Reformasi, hingga saat Itu Politik? Ari Wibowo dalam tesis berjudul “Implementasi Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia” 2014 menyebutkan, politik pada awal kemunculannya merupakan sebuah usaha untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristotles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dalam praktiknya, sebuah hidup yang ideal tidak pernah benar-benar ideal bagi semua orang. Niccolo Machiavelli meyakini bahwa setiap orang memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak rasional. Hal ini membuat politik hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan segolongan tertentu saja. Politik menurut Niccolo Machiavelli merupakan cara untuk meraih kekuasaan. Machiavelli menekankan bahwa penguasa dapat menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Meskipun begitu, politik sejatinya bukan sekadar jalan untuk mencapai kepentingan golongan tertentu saja. Menurut Peter Merkl, definisi politik dalam bentuk yang paling baik adalah cara untuk mencapai tatanan sosial yang baik dan juga Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Mengenal Trias Politica yang Diterapkan di Indonesia Sejarah Susunan Kabinet Pertama RI Daftar Menteri Era Presidensial Pengertian Sistem Politik Menurut Para Ahli Pengertian sistem politik secara umum adalah semua kegiatan politik dalam sebuah negara atau masyarakat yang berupa proses alokasi nilai-nilai dasar kepada masyarakat dan menunjukkan pola hubungan yang fungsional di antara kegiatan-kegiatan politik tersebut. Para ahli memiliki beberapa perbedaan mengenai pengertian sistem politik. Nuryadi dan Tolib dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2017 menyajikan pengertian sistem politik menurut beberapa ahli David Easton Sistem politik merupakan sistem interaksi dalam masyarakat yang diambil dari seluruh perilaku sosial dan dialokasikan secara otoritatif kepada seluruh lapisan Kantaprawira Sistem politik merupakan berbagai macam kegiatan dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit dan kesatuan yang berupa negara atau C. Plano Sistem politik merupakan pola hubungan masyarakat yang terbentuk berdasarkan keputusan-keputusan yang sah dalam lingkungan masyarakat A. Dahl Sistem politik mencakup dua hal, yaitu pola hubungan yang tetap antarmanusia dan melibatkan sesuatu yang luas tentang kekuasaan, aturan, serta juga Pengertian Demokrasi Pancasila Sejarah, Prinsip, & Ciri-cirinya Konsep Pembagian Kekuasaan Secara Vertikal di Indonesia & Contohnya Sejarah Masa Demokrasi Parlementer atau Liberal di Indonesia Ciri-ciri Umum Sistem Politik Sistem politik merupakan satu dari sejumlah sistem sosial yang berlaku di dalam tatanan sosial masyarakat. Terdapat ciri-ciri yang membedakan sistem politik dengan sistem sosial lainnya, yaitu Daya jangkauan yang universal, meliputi setiap anggota masyarakat. Adanya kontrol yang bersifat mutla terhadap pemakaian kekerasan fisik. Hak membuat keputusan-keputusan yang mengikat dan diterima secara sah. Keputusannya bersifat otoritatif atau memiliki kekuatan hukum dan kerelaan yang besar. Infografik SC Jenis Sistem Politik. Ciri-ciri Sistem Politik di Indonesia Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara telah merumuskan sistem politik yang paling cocok digunakan di Indonesia dan yang paling sesuai dengan jatidiri bangsa. Terdapat 7 prinsip pokok dalam karakteristik sistem politik Pancasila. Ida Rohayani dalam buku Modul Pembelajaran SMA PPKn Kelas X 2020 menjabarkannya sebagai berikut Mengakui persamaan kedudukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menjamin pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mewujudkan rasa keadilan sosial. Pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional. Di Indonesia, Pancasila merupakan falsafah sekaligus pedoman dan dasar negara yang dijunjung tinggi dalam setiap penerapan sistem sosial. Untuk itu, pemberlakuan sistem politik harus mengandung nilai-nilai juga Sejarah Demokrasi Parlementer Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan Nilai Kebersamaan dalam Sejarah Perumusan Dasar Negara Pancasila - Sosial Budaya Kontributor Adilan Bill AzmyPenulis Adilan Bill AzmyEditor Iswara N Raditya
Pengertiansistem politik secara umum adalah semua kegiatan politik dalam sebuah negara atau masyarakat yang berupa proses alokasi nilai-nilai dasar kepada masyarakat dan menunjukkan pola hubungan yang fungsional di antara kegiatan-kegiatan politik tersebut. Para ahli memiliki beberapa perbedaan mengenai pengertian sistem politik.
Ekonomi dan politik merupakan dua aspek atau sektor terpenting dalam sebuah negara. Dua aspek ini tidak bisa dipisahkan karena memiliki hubungan yang sangat erat, bila mereka berdiri sendiri niscaya akan terjadi sebuah masalah yang besar di suatu negara tersebut. Ekonomi adalah ilmu yang mempelajarai tentang tata keuangan suatu negara. Baca juga fungsi ilmu ekonomi dan fungsi ilmu ekonomi regional. Sedangkan politik merupakan ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang tata negara, baik yang berhubungan dengan pembangunan ataupun antara ekonomi dan politik bisa dilihat dari berbagai aspek, mulai dari sejarahnya, perkembangannya dan lainnya. Semua itu menunjukkan bahwa memang ada hubungan yang erat antara ekonomi dan politik. Hubungan tersebut antara lain Aspek sejarahPara pemikir terdahulu menganggap bahwa ilmu ekonomi merupakan cabang dari ilmu politik. Karena pada saat itu pokok atau inti urusan keuangan atau financial suatu negara dilihat dan diambil dari sumber penghasilan negara yang telah masuki ke ranah ilmu politik. Hal inilah yang menyebabkan ilmu ekonomi dianggap sebagai cabang dari ilmu antara ilmu ekonomi dan ilmu politikSeiring perkembangan zaman ilmu ekonomi yang dianggap merupakan cabang dari ilmu politik telah berdiri sendiri atau menjadi independent. Dimana ilmu ekonomi memiliki kajian tersendiri yaitu berupa, apa, bagaimana, dimana, dan bagaimana seorang masyarakat bisa mencari uang dan mengolah keuangannya. Namun meskipun independen ekonomi juga memiliki keterkaitan di beberapa titik ilmu politik, sehingga hal inilah yang menyebabkan para ahli memadukan antara ekonomi dan politik menjadi satu disiplin ilmu yang bernama ekonomi ekonomi politik ini memfokuskan kajiannya pada fenomena-fenomena ekonomi secara keseluruhan atau universal, yang berjalan serta dikaji dan ditelaah menjadi lebih spesifik, yaitu melihat dan memahami interaksi yang terjadi diantara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor yang dimiliki oleh tujuan suatu negaraSemua negara tentunya memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya dan menciptakan kondisi yang mendukung untuk perkembangan dan kemajuan negaranya. Dalam hal ini pemerintah melakukan beberapa trobosan seperti halnya membuat kebijakan-kebijakan serta suatu hukum yang melindungi masyarakat lemah dan menciptakan sebuah keadilan, hal ini dibahas dalam ilmu hal tersebut untuk kesejahteraan dan kemakmuran butuh yang namanya pembangunan di berbagai aspek, seperti pembuatan lapangan kerja, pelatihan kerja, melangkapi fasilitas umum dan lainnya yang berhubungan dengan perwujudan pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi dalam suatu negara. Hal ini dibahas dalam ilmu ekonomi. Untuk itulah untuk mencapi suatu tujuan negara perlu adanya hubungan atau keterkaitan antara ilmu ekonomi dan ilmu terkait pencapaian tujuan Cara mengatur keuangan pribadi agar masa depan cerahCara bisnis online shop bagi pemula agar suksesCara memulai dan menjalankan bisnis pulsa super mudahCara lolos interview kerjaKerjasama antar ahli sarjana di masing-masing bidangDalam hal ini antara sarjana ekonomi dan sarjana politik bisa saling bertukar ilmu atau bekerjasama dalam mencapi suatu tujuan tertentu. Pada saat ingin mengajukan kebijakan atau strategi ekonomi tertentu, seorang sarjana ekonomi bisa bertanya pada sarjana politik tentang apakah hal yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan ekonomi. Selain itu juga saat mengajukan kebijakan yang bisa digunakan untuk memperbesar produksi nasional, sarjana ekonomi juga bisa bertanya pada sarjana politik tentang bagaimana cara menanggulangi hambatan politis yang akan mereka temui dalam mencapai adalah pembangunan lima tahunan di Indonesia yang memperhatikan aspek sosial dan politik yang berubah akibat pergeseran perekonomian Indonesia. Sebaliknya juga sarjana politik bisa bertanya pada sarjana ekonomi tentang syarat-syarat yang berhubungan dengan ekonomi dalam pemenuhan pencapaian tujuan politis tertentu, khususnya yang berkaitan dengan pembinaan kehidupan demokrasi. Baca juga keuntungan dan kerugian bisnis franchiseAnalisa pembangunan berjalannya waktu ilmu ekonomi menjadi semakin berkembang, terjadi kemajuan di sana sini, terutama pada ekonomi internasional. Dengan pesatnya kemajuan ekonomi ini kehadiran dan kerjasama antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Kerjasama antara dua studi ini diperlukan untuk menganalisis apa saja yang mungkin terjadi saat pembangunan atau interaksi ekonomi secara internasional terjadi, sehingga mampu menyiapkan startegi dan siasat untuk menghadapi atau menatap semua hal yang mungkin akan terjadi pada saat itu. Baca juga hukum permintaan dan penawaranKondisi suatu negaraKehadiran dan hubungan antara ilmu ekonomi dan politik terlihat jelas sesuai dengan keadaan atau kondisi suata negara tersebut. Contohnya saat runtuhnya masa orde baru di Indonesia, terjadilah krisi moneter yang menunjukkan bahwa politik sangat mempengaruhi keadaan ekonomi suatu negara. Selain itu ada juga kejadian yang ada terjadi di Mesir atau Libya, perekonomian saat itu menurun dan mendapat masalah yang besar, negara mengalami kerugian besar-besaran di saat kondisi politik negara itu Amerika pun juga bisa kita lihat hubungan antara politik dan ekonomi yang sangat kuat, meskipuun di negara tersebut menerapkan free figt, tetapi perekonomiannya tetap kuat dan mememiliki pengaruh besar dalam pemilihan di atas merupakan fakta yang menunjukkan bahwa memang ekonomi dan politik memliki hubungan yang sangat erat, bahkan ketika salah satu dari mereka hilang atau tidak berjalan maka negara akan mengalami dan mendapatkan suatu masalah yang besar. Jadi pada intinya ekonomi dan politik memiliki keterkaitan satu sama lain.
Interaksiantara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat a. Intern b. Ekstern c. Fungsional d. Deterministik Dalam konteks model sistem, manajemen keuangan negara merupakan suatu proses yang bersifat dialektis, maksudnya yakni a. PBPBQBG FTBLEB DBG]CG QHE FTBLEB ^CGJBBG ]CGFBO QCHCQ]CT FBGKJIGJGC ]BOSG ^CJBKBTBG 4>4>/4>42^rifrbh Ecboj`bg; Hbgbkchcg ^crebgtirbgHbtb ^cjbkbrbg; EcubgfbgEcjbs/Kurusbg; _ Mubdcjbs/ H^ 2/4 Dcgtue Qibj; ^`j`obg Fbgmb]bgffbj; ………, Qcptchdcr 4>4>Gbhb Furu; Crj` Kbyb,QC.,HH^`j`ojbo kbwbdbg m`dbwbo `g` ybgf hcgurut bgmb pbj`gf dcgbr mbg tcpbt b,d,a,m btbu c ! sbtu lugfs` pchcr`gtbo mbjbh eigtces bmh`g`strbs` ecubgfbg gcfbrbbmbjbo scdbfb` beuhujbtir, hbesumgyb bmbjbo ...b. Hcgfbjiebs`ebg suhdcr mbgb ugtue hcgfbmbebg dbrbgf/kbsb uhuhd. Hcgyc`hdbgfebg, hcgycsub`ebg pchdbf`bg pcgmbpbtbg mbghcgsckbotcrbebg hbsybrbebta. Hcg`gfebtebg ecschpbtbg ecrkb scrtb pcrtuhduobg ceigih` ybgf hbgtbpm. Hcgfo`hpug mbg hcgybjurebg mbgb mbg mbyb ugtue scdcsbr hugfe`gm`hbglbbtebg dbf` ecsckbotcrbbg hbsybrbebt4.gtcrbes` bgtbrb s`stch ecubgfbg gcfbrb mcgfbg s`stch pij`t`e dcrs`lbt... b. gtcrgd. Cestcrga. Lugfs`igbjm. Mctcrh`g`st` eigtces himcj s`stch, bmh`g`strbs` ecubgfbg gcfbrb hcrupbebgsubtu priscs ybgf dcrs`lbt m`bjcet`s, hbesumgyb bmbjbo ...b. Bgtbrb lbetir sudkce mbg idkce scrtb j`gfeugfbg hcrupbebg sbtu ecsbtubgybgf utuo mbg sbj`gf hcjcgfebp`d. Hcjcgfebp` priscsa. Bjbt pcgfbrbo mbg pcg`jb` sbhpb` sckbuohbgb subtu s`stch dcrfcrbe ecbrbo tcrabpb`gyb tukubgm. gtcrbes` bgtbr eihpigcg btbu suds`stch mbjbh s`stch bmh`g`strbs`ecubgfbg=.^r`gs`p B^DG ybgf dcreb`tbg crbt mcgfbg dbgtubg jubr gcfcr` bmbjbo pr`gs`pbgffbrbg ... Gbhb Q`swbG`jb` b. Dcr`hdbgfd. ]rbm`s`igbja. Lugfs`igbjm. M`gbh`s mbpbt hcgkbm` `gstruhcg ugtue pchdbf`bg echdbj` pcgmbpbtbgmbjbh dcgtue pchd`bybbg trbglcr btbu suds`m`, ebrcgb bgffbrbg hch`j`e`lugfs` ..b. Bjiebs`d. Beuhujbtir a. Qtbd`j`sbs`m. M`str`dus`.Qchub pcgfcjubrbg mbcrbo mbjbh pcr`imc tboug bgffbrbg tcrtcgtu ybgfhcgkbm` dcdbg mbcrbo bmbjbo ...b. ^cgmbpbtbg mbcrbod. Dcjbgkb mbcrboa. ^chd`bybbgm. Dcjbgkb pchdbgfugbg22.]bobpbg mbjbh s`ejus bgffbrbg mbcrbo ybgf hch`j`e` eb`tbg crbt mcgfbgbspce beugtbd`j`tbs bmbjbo ...b. Dumfct prcpbrbt`igd. Tbt`l`ebs` bgffbrbga. Dumfct `hpjchcgtbt`igm. ^cjbpirbg mbg cvbjubs` bgffbrbg24.]bobpbg mbjbh s`ejus bgffbrbg mbcrbo ybgf hcj`dbtebg priscs pij`t`e bmbjbo...b. Dumfct prcpbrbt`igd. Dumfct rbt`l`abt`iga. Dumfct `hpjchcgtbt`igm. ^cjbpirbg mbg cvbjubs` pcgmbpbtbg mbg dcjbgkb mcsb m`tctbpebg sct`bp tboug mcgfbg ....b. ^crbturbg mcsbd. ^crbturbg dupbt`a. ^crbturbg mbcrbom. Sgmbgf-ugmbgf2=.K`eb pcgfcjubrbg pchcr`gtbo m`tcgtuebg mcgfbg hcj`obt be`dbt t`mbe jbgfsugftcrobmbp pcgmbpbtbg gbs`igbj, hbeb kcg`s ecd`kbebg l`sebj ybgf m`fugbebgbmbjbo ...b. ^chd`bybbg lugfs`igbjd. ^cgfcjijbbg bgffbrbga. Qtbd`j`sbs` bgffbrbg itihbt`sm. Bgffbrbg dcjbgkb sc` hcrupbebg subtu rcgabgb ecrkb ybgf m`gybtbebg scabrb eubgt`tbt`l ybgf m`ueur mbjbh sbtubg higctcr stbgmbr mbg sbtubg ueurbg ybgf jb`g ybgfhcgvbeup kbgfeb wbetu sbtu tboug. ^cgfcrt`bg bgffbrbg tcrscduthcgurut ....b. Fjcgg B Vcjsaod. Fihcsa. Hujybm`
SoalUT Ilmu Administrasi Negara ADPU4333 Administrasi Keuangan yang sudah dilengkapi dengan kunci jawaban dan pembahasannya, kami share untuk teman-teman UT, khususnya untuk teman-teman jurusan Ilmu Administrasi Negara yang saat ini sedang menempuh pendidikan pada semester 4. Pada postingan-postingan kami sebelumnya, kami telh berbagi lengkap kumpulan Soal Ujian UT Ilmu Administrasi Negara

Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of “Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik” SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 8 Nomor 2, 2015, halaman 141-262 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara. STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Redaksi Prof. Heru Subiyantoro, Dr. Roberto Akyuwen, Yoopi Abimanyu, Mitra Bestari . Prof. Dr . Abdul Halim, Akt. Dr. Akhmad Makhfatih, Dr. Artidiatun Adji, M,Ec Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, Prof. Ir. Noer Azam Achsani. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, Dr. Ir. Tanti Novianti, Zaafri Ananto Husodo, Redaktur Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., Editor Ahli Muh Nurkhamid Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Nur Etaruni VMI Bimo Adi Sekretariat ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. 021 7394666 7204131; Faksimili 021 7261775,7244328; webpage e-mail jurnalbppk Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 JURNAL BPPK Volume 8, Nomor 2, 2015 DAFTAR ISI ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Studi Kasus Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum Renny Sukmono THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 213-228BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Balai Diklat Keuangan Malang, Indonesia, Email agungdarono Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berkaitan dengan pendapat atau kebijakan institusi penulis berafiliasi Diterima Pertama 29 September 2015 Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of “Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik” SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Politik-institusional merupakan sebuah konsep untuk menggambarkan bagaimana kuasa-dan-wewenang aktor dalam organisasi menumbuhkan situasi saling-pengaruh interplay sehingga daripadanya suatu “institusi” yaitu sebuah pola perilaku tertentu yang stabil, berulang dan mempunyai tujuan akan muncul atau hilang. Pengembangan, implementasi, keberterimaan, dan juga ketahanan Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik SPNsE sebagai sebuah institusi juga tidak lepas dari proses saling pengaruh tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik interpretive policy analysis dengan memanfaatkan berbagai data sekunder berupa dokumentasi sistem dalam pengertian yang luas, dalam bentuk ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga nota kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan dan implementasi sistem. Pelajaran yang diperoleh dari implementasi SPNsE ini adalah bagaimana organisasi pemerintahan dapat memanfaatkan aspek politik-institutional ini dan kemudian menjadikannya sebagai pendorong pencapaian tujuan organisasi. Kesimpulan penelitian ini berupa pemahaman mendalam atas masalah penelitian, yakni bahwa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE berkelindan dengan 1 kontrol-institusional sebagai akselerator munculnya sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauankuasa sang aktor. agensi institusi kontrol penerimaan negara resistensi 1. PENDAHULUAN Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berwenang menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, Menteri Keuangan telah menerbitkan beberapa peraturan, terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/ tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik selanjutnya PMK-32. Penerbitan PMK-32 ini merupakan bagian dari serangkaian ketentuan yang telah keluar sebelumnya secara bertahap untuk melengkapi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pelbagai ketentuan tentang sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Dari sudut pandang bagaimana alur sebuah sistem direncanakan hingga diimplementasikan lihat misalnya McLeod dan Schell 2001, terdapat sebuah gejala yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut terkait dengan keberadaan sistem penerimaan negera ini. Telaah yang diharapkan dapat digunakan untuk memahami bagaimana implementasi sebuah sistem informasi di sektor pemerintahan berlangsung dengan sukses. Salah satu dokumen penting yang menandai tahapan pengembangan dan implementasi sistem tersebut adalah adanya surat yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tertanggal 16 September 2003 kepada International Monetary Fund IMF. Surat ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian pemberian bantuan keuangan untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 IMF, 2003. Surat tersebut antara lain menyatakan bahwa “… By June 2003, the electronic tax filing and payment system will be expanded to process 75 percent of DGT tax collections… “. Atas pernyataan dalam surat tersebut kemudian Menteri Keuangan mengambil tindakan, yang antara lain adalah mengeluarkan beberapa peraturan untuk; 1 mengubah persyaratan penunjukkan sebuah bank atau tempat lain yang dapat menjadi tempat pembayaran ke kas negara antara lain adalah bank ataupun kantor pos yang mampu melakukan komunikasi data dengan pihak otoritas perbendaharaan Menteri Keuangan Direktur Jenderal Perbendaharaan melalui standar tertentu; 2 mengatur mekanisme pengesahan penerimaan negara melalui bank persepsi dengan sebuah sistem-aplikasi yang disebut dengan Modul Penerimaan Negara MPN Darono, 2011; 2013b. Berbagai ketentuan yang berkaitan ini secara bertahap terus diperbaiki hingga terbitnya peraturan tentang Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik/SPNsE lihat Tabel 1 untuk perkembangan keberadaan sistem ini. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa SPNsE ini telah dirilis dan berjalan dengan nama yang dikenal secara populer sebagai “MPN-G2” DJPb, 2014; DJPb, tanpa tahun. Pada tahap ini perubahan signifikan yang terjadi adalah adanya fasilitas kode billing yang digunakan sebagai sarana berbagai jenis setoran penerimaan negara pajak, bea masuk, cukai ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP sehingga selain secara konvensioal melalui teller pembayaran/penyetoran dapat dilakukan melalui ATM, internet banking ataupun Electronic Data Capture EDC . Sistem yang dikembangkan tersebut secara teknologi dapat dikatakan menjadi tonggak sejarah penting pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi TIK dalam sistem informasi manajemen keuangan negara di Indonesia. Kesimpulan demikian ini dapat diajukan setidaknya karena SPNsE ini sejak wal pengembangannya 1 mulai melibatkan pertukaran informasi antar berbagai entitas penyedian informasi secara online dan real-time; 2 pertukaran informasi tersebut bersifat transaksional, bukan lagi “sekedar” brosur sebagaimana disinggung oleh Bank Dunia 2002. Bahkan SPNsE merupakan ini sistem bersifat kritikal dan sensitif karena berkenaan dengan nilai uang dalam jumlah besar dan sekaligus jumlah penggunanya yang massif. Dalam pandangan penulis, dinamika yang berkaitan dengan pengembangan dan implementasi SPNsE tersebut akan menarik jika dipandang dengan menggunakan lensa sosio-teknikal dalam ranah kajian kebijakan publik, khususnya keuangan itu, penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman terutama aspek sosio-teknikal atau lebih tepatnya politik-institusional atas proses pengembangan dan implementasi SPNsE ini. Artinya, penjelasan dan analisis yang disajikan penelitian ini lebih menekankan pada aspek non-teknikalnya. Pemahaman atas aspek sosial dalam hal ini terutama aspek politik-institusional, diharapkan semakin melengkapi pelbagai penjelasan atau kajian atas isu yang sifatnya teknis-teknologikal. Penelitian ini mencoba berkontribusi baik untuk kajian keuangan negara ataupun pemanfaatan teknologi informasi di sektor pemerintahan. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini, sebagaimana lazimnya penelitian yang menggunakan paradigma interpretif, adalah pemahaman mendalam mengenai aspek politik-institusional dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi berbasis teknologi di sektor pemerintahan. Pemahaman verstehen, lihat misalnya Bungin, 2012 yang nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebijakan ataupun operasional sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Mengapa aspek politik-institusional yang dipilih sebagai sudut pandang untuk memahami pengembangan dan implementasi sebuah sistem informasi secara mendalam? Setidaknya terdapat alasan yang cukup kuat, dengan merujuk Lawrence 2008 dan juga Darono 2014;2015. Peneliti pertama menyimpulkan bahwa aspek kuasa power belum dibahas secara eksplisit dalam kajian institusional. Peneliti yang terakhir menyatakan aspek institutisonal dalam pengembangan dan implementasi TIK di sektor publik belum banyak diungkapkan. Kajian institutional sering tidak secara eksplisit mengungkapkan relasi kuasa-politik dengan keberadaan ketidakberadaan sebuah institusi. Mengapa suatu institusi itu ada, bagaimana ia bertahan atau bahkan ia kemudian dihapuskan. Pada sisi yang lain, beberapa penelitian tentang yang membahas kaitan aspek kuasa-politik dalam kaitannya dengan keberadaan dalam organisasi juga belum secara tegas memasukkan aspek institusional ke dalamnya Lawrence, 2008. POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Terlebih jika situasi di atas diletakkan dalam konteks penelitian pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara di Indonesia, masih sangat jarang membahas aspek sosial-teknikal sebagai bagian kerangka analisisnya lihat misalnya Darono, 2012; 2013a; 2013b. Padahal, merujuk Larsen et al. 2014, terdapat cukup banyak alternatif kerangka konsepsual yang dapat digunakan untuk memahami pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara sebagai sebuah konstruksi sosio-teknikal. Pada tingkat tertentu, dalam hemat penulis, penggunaan perspektif politik-institusional dalam tulisan ini diharapkan mempunyai kontribusi untuk melengkapi berbagai sudut pandang yang selama ini telah ada baca sudut pandang positivistik ataupun determinisme-teknologi. Perspektif tersebut pada gilirannya diharapkan bermanfaat baik dalam ranah kajian akademis ataupun kebijakan praktis, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan TIK untuk manajemen keuangan negara di Indonesia. Sistematika penyajian makalah ini adalah bagian pertama menyajikan latar belakang dan tujuan penelitian. Selanjutnya, bagian kedua merupakan tinjauan literatur yang berkaitan dengan politik-institusional sebagai kerangka konsepsual yang digunakan dalam tulisan ini. Bagian ketiga menyajikan uraian tentang SPNsE sebagai konteks kasus yang dibahas. Pada bagian selanjutnya, kelima, makalah ini akan mendisikusikan berbagai temuan penelitian, hikmah lesson learned apa yang dapat dari berbagai temuan penelitian, dan rekomendasi kebijakan. Terakhir, bagian keenam menyajikan kesimpulan 2. SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK KONTEKS KASUS Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 5/ tentang Penunjukkan Bank sebagai Bank Persepsi dalam Rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara KMK-5. Keputusan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah adanya persyaratan yang mewajibkan bank atau kantor pos yang akan mengelola penerimaan negara disebut sebagai Bank Persepsi untuk 1 memiliki jaringan sistem informasi yang terhubung langsung secara online antara kantor pusat dan seluruh atau sebagian kantor cabangnya; 2 kantor pusat bank/kantor pos memiliki jaringan komunikasi data yang dapat dihubungkan secara online dengan jaringan komunikasi data yang dioperasikan oleh Kementerian Keuangan Kemenkeu. Sebagai kelanjutan dari perubahan atas KMK-5, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang Modul Keuangan Negara MPN sebagai mekanisme teknik yang mengatur bagaimana koneksi data antara Bank Persepsi dengan otoritas perbendaharaan negara untuk pembahasan detil tentang MPN sebagai layanan elektronis lihat misalnya Darono, 2011. Implementasi MPN berlanjut terus dengan segala perkembangan dan dinamikanya sehingga diterbitkannya PMK-32. Gambar 1 menjelaskan alur data dalam SPNsE yang terjadi di antara biller bagian otoritas fiskal yang mempunyai fungsi penerimaan negara, dalam hal ini DJP, DJBC dan DJA dengan collecting agent bank/pos persepsi, dapat berupa teller, internet banking; atau ATM. Pembayaran/penyetoran ke kas negara dapat dilakukan oleh wajib pajak/wajib bayar melalui collecting agent setelah mereka mendapatkan kode billing dari biller. Sebagaimana diulas dalam Darono 2011, MPN yang dikembangkan dengan prinsip-prinsip layanan elektronis e-services sesuai namanya yang “modular” memang berpeluang untuk diintegrasikan dengan berbagai modul lain, baik dengan layanan elektronis milik otoritas perbendaharaan sendiri misalnya SPAN ataupun milik otoritas penerimaan negara lainnya DJP, DJBC, DJA ataupun kementerian/lembaga yang mengelola PNBP. Hal ini diungkapkan oleh pihak DJP sebagai otorisator PNBP dari berbagai kementerian/lembaga lain yang juga sudah mempunyai sistem informasi yang berkaitan dengan masing-masing jenis PNBP. Integrasi antar aplikasi ini tetap masih berlangsung, sebagaimana diungkapkan bahwa “... Launching aplikasi SIMPONI-BARANTAN sejatinya merupakan langkah awal dalam melakukan integrasi dengan K/L lainnya. Saat ini beberapa K/L tengah dalam proses pengerjaan integrasi sistem dengan SIMPONI, antara lain BINFAR-Kementerian Kesehatan; AHU, HAKI dan Imigrasi-Kementerian Hukum dan HAM; serta MOMI-Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Melalui kerjasama ini, kedepannya diharapkan jumlah PNBP yang diterima menjadi lebih meningkat disertai dengan pelayanan kepada masyarakat yang tetap optimal. ... “ Sumber Gambar 1 Alur Data Antara Biller DJP, DJBC, DJA melalui MPN-G2 sebagai Switch dengan Collecting Agent Bank/Pos Persepsi Sumber diadaptasi dari Masdi 2012 Menteri Keuangan Bendahara Umum Negara/BUN mempersiapkan sistem-aplikasi yang akan dikoneksikan dengan collecting agent dan biller, POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 yang dinamai dengan Modul Penerimaan Negara MPN. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang MPN ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai ketentuan teknis dan pelaksanaan di bawahnya baik yang terkait dengan otoritas perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, penganggaran Direktorat Jenderal /DJA, otoritas kepabeanan dan cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai/DJBC ataupun perpajakan Direktorat Jenderal Pajak/DJP. Ketentuan teknis tersebut antara lain mencakup ketentuan tentang bagaimana otoritas perbendaharaan sebagai Kuasa BUN mengatur MPN itu agar dapat berfungsi sebagai perangkat yang mencatat penerimaan negara secara valid dan reliabel. Salah satu ketentuan yang sangat krusial dalam implementasi MPN adalah bahwa sebuah tempat pembayaran yang mengajukan diri sebagai Bank Persepsi harus menjalani acceptance test dan memenuhi prosedur standar rekonsiliasi antar-pihak yang saling bertukar data. Termasuk di dalamnya juga aturan tentang proses rekonsiliasi data antara pihak yang bertukar informasi Bank Persepsi, otoritas perpajakan dan otoritas pebendaharaan DJPb, tanpa tahun. Dalam tatarannya yang lebih teknis, DJP, DJBC dan DJA sebagai biller masing-masing telah menerbitkan yang mengatur bagaimana mereka berinteraksi dengan collecting agent dan MPN. Perkembangan sistem penerimaan negara ini secara lebih ringkas dapat ditelusuri dari perubahan ketentuan hukum yang mengatur tentang hal ini. Tabel 1 memaparkan timeline pelbagai perubahan ketentuan tersebut. Tabel 1 Timeline Perkembangan Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara KMK Nomor 5/ Penunjukan Bank Sebagai Bank Persepsi dalam rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara Belum secara eksplisit menyebutkan keberadaan sistem penerimaan negara secara elektronik KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak Otoritas perpajakan mengambil inisiatif untuk mengembangkan sistem MP3 yang mengoneksikan data antara Bank Persepsi dengan otoritas perpajakan lihat juga Darono, 2011 KMK 210/ 455/ Perubahan terhadap 5/ Untuk menjadi Bank Persepsi, wajib 1 mempunyai jaringan komunikasi data yang mencakup semua kantor bank yang bersangkutan, 2 jaringan ini harus terkoneksi dengan Direktorat Jenderal Pajak DJP dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan; 3 memperoleh rekomendasi dari DJP KMK 536/ 547/ Perubahan terhadap 5/ Bank Persepsi yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaiman disebut dalam Pasal 2 ayat 3 masih dapat menerima setoran penerimaan negara 30 Juni 2003 Memorandum of Economic and Financial Policies dari Pemerintah RI dan BI kepada IMF Pada akhir Juni 2003, pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik PMK 99/ dan Perubahannya Modul Keuangan Negara MPN Untuk melengkapi ketentuan dalam KMK Nomor 5/ dalam hal pengaturan tentang bagaimana sistem penerimaan negara beroperasi. MPN mengintegrasikan beberapa aplikasi pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya terpisah MP3 DJP, SISPEN DJA, EDI BJBC PMK 60/ Uji coba Billing Systems melalui MPN Uji coba penambahan fitur MPN yang memperluas cara membayar tagihan pajak tertentu tidak hanya via teller bank namun juga melalui ATM, ataupun internet banking dengan menggunakan Kode Billing PMK 32/ Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik Penerimaan Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi seluruh Penerimaan Negara yang disetorkan yang diterima melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan Kode Billing. PMK ini tentang SPNsE ini “secara populer” dikenal sebagai MPN-G2, yaitu MPN dengan beberapa fitur baru lihat Gambar 1 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Perdirjen BC PER-07/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Uji coba tata cara penyetoran berbagai jenis penerimaan yang dikelola oleh DJBC PER-33/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Impor Barang Yang Dibawa Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut Dengan menggunakan Kode Billing PER-36/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Dengan Kode Billing pada Kantor Pelayanan Yang Belum Menerapkan Pertukaran Data Elektronik PDE atas Pelayanan Ekspor PER-38/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pencacahan/Pemeriksaan Paket Pos PPKP Dengan Menggunakan Kode Billing PER-39/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pelayanan Impor Dengan Menggunakan Kode Billing. Perdirjen Anggaran Nomor PER-1/AG/2014 tentang Tata Cara Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Non Anggaran Secara Elektronik. Tata Cara Pembuatan, Perekaman, dan Pembuatan Kode Billing dan Sistem Billing PNBP yang meliputi Billing untuk Migas, SDA Non Migas, BUMN. Dikenal sebagai sistem-aplikasi Simponi-PNBP Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai perluasan PMK-32, transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui Teller Bank/Pos Persepsi, Anjungan Tunai Mandiri ATM, Internet Banking dan EDC. Atas pembayaran/ penyetoran pajak tersebut Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara BPN sebagai bukti setoran Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-182/PJ/2015 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai tindak lanjut PER-26/PJ/2014, Dirjen Pajak menunjuk Bank Mandiri, BRI dan BNI untuk menjalankan uji coba pembayaran pajak dengan menggunakan EDC yang secara populer dikenal dengan “Mini ATM” Sumber diadaptasi dari Darono 2013b, diolah kembali 3. TINJAUAN LITERATUR Politik Institusional Kuasa, Kontrol, Keagenan dan Resistensi dalam Institusi Kajian institusional berangkat dari kajian-kajian di bidang sosiologi. Emile Durkheim sebagaimana dikutip Sunarto 2004 menyatakan bahwa jika ekonomi adalah studi tentang pasar maka sosiologi studi tentang institusi sosial, selain pasar. Koentjaraningrat 1983 memberikan istilah pranata sebagai padanan institusi untuk membedakannya dengan “institut” sebagai padanan “lembaga”. Menurut Koentjaraningrat, pranata adalah perilaku manusia yang berpola teratur. Tulisan ini akan menggunakan istilah institusi lebih karena alasan praktis. Istilah institusi sudah secara luas dan lebih sering digunakan. Pemakaian istilah dan kajian tentang institusi ini kemudian berkembang dan mewarnai berbagai kajian pada disiplin yang lain seperti ekonomi, politik, hukum ataupun studi organisasi. Bahkan kemudian juga studi di bidang TIK bersamaan dengan munculnya kajian informatika sosial lihat misalnya Kling, 1999; Kling, et al., 2005; Darono, 2012. Kajian TIK-institusional merupakan kerangka pemikiran yang dapat memperjelaskan atau memahami TIK sebagai artefak-sosial lihat misalnya Avgerou, 2000; Avgerou, 2004; Ezer, 2005; Currie, 2008. Kajian Kling, et al. 2005 dan juga Kling 1999 dapat dikatakan sebagai “manifesto” yang menyatakan pentingnya pengungkapkan aspek-aspek sosial, termasuk aspek institusional yang menyertai implementasi TIK sebagai bagian dari sistem sosial yang luas. Luas cakupan disiplin yang menggunakan istilah institusi pada gilirannya juga menjadikan peneliti di bidang ini tidak dapat merumuskan “definisi tunggal” tentang institusi itu sendiri. Kajian Cole 2013 mengungkapkan berbagai definisi tentang institusi dari berbagai disiplin, termasuk diskusi tentang apakah organisasi itu aktor atau institusi. Untuk kepentingan praktis, penelitian ini memilih definisi operasional institusi sebagai semua keyakinan dan cara berperilaku yang dibentuk oleh kesepakatan bersama Carls, tanpa tahun. Beberapa peneliti kajian institusional mengajukan perlunya membedakan aktor dengan institusi ini secara tegas karena nantinya akan memengaruhi teknik dan hasil analisis yang akan disajikan Lawrence, 2008;Cole, 2013. Terdapat setidaknya dua sudut pandang yang berbeda mengenai peranan aktor dalam kaitannya dengan institusi ini. Pandangan pertama yang diajukan antara lain oleh Meyer dan Rowan 1977, Scott 2004 ataupun juga Thornton POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dan Ocasio 2008 yang lebih menekankan pada penting struktur yang melingkupi keberadaan instusi daripada aktor itu sendiri. Pada sisi yang lain, terdapat pandangan yang kedua, misalnya merujuk pada Lawrence 2008 dan Weir 2003 berpandangan sebaliknya, bahwa aktor lebih beperanan dibandingkan dengan struktur dalam keberadaan suatu institusi. Berangkat dari kedua pandangan tersebut, sebagaimana tesis yang diajukan Lawrence 2008, maka penelitian ini akan memilih sudut pandang yang kedua, bahwa aktor mempunyai peran yang lebih besar daripada struktur yang melingkupinya. Tema diskusi yang berkembang sepanjang perjalanan bidang kajian institusional ini menunjukkan bahwa penggunaan proposisi-proposisi institusional dalam disiplin sosiologi-organisasi kemudian memunculkan istilah old- dan juga new- atau neo- institutionalism. Dalam pandangan para penganjur neo-institutsional berpandangan bahwa kajian tentang institusi bukanlah semata-mata menelaah bagaimana institusi sebagai bagian dari sebuah struktur sosial terbentuk dan kemudian menjadi menjadi pendorong-atau-pengekang perilaku sosial bagi para aktor yang terlibat dengannya. Neo-institusional merupakan sebutan untuk himpunan berbagai proposisi yang menyatakan bahwa 1organisasi berada dalam sebuah lingkungan-keorganisasian organizational-field dan karenanya muncul tekanan institusonal institutional pressures; 2 adanya institusional logic sebagai keyakinan, nilai, asumsi, praktik-yang-nyata dan aturan yang secara sosio-historis dikonstruksikan kemudian digunakan oleh setiap individu untuk memreproduksi dalam keseharian mereka, dalam ruang-waktu mereka untuk memaknai realitas sosial mereka; 3 keberadaan akan institutional sebagai tindakan untuk menghilangkan kelambanan dengan mencapai kolaborasi yang berkelanjutan di antara aktor yang bermacam-macam dan tersebar untuk membentuk institusi baru ataupun mengubah yang sudah ada; dan juga 4 adanya institutional arrangementyaitu bagaimana struktur tata kelola dikembangkan Yustika, 2010; Wahid, 2011; Wahid dan Sein, 2013. Berkaitan dengan debat ini, penulis mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mungkin untuk sebagian pakar analisis institusional akan dikatakan sebagai“terlalu menyederhanakan” lebih menekankan pada apa itu institusi, sebagai sebuah entitas tunggal, sehingga tidak terlalu memperhatikan lingkungan field di mana ia berada. Sementara itu new-institutionalism melengkapi kajian yang telah ada itu dengan bagaimana institusi itu terbentuk dan bertahan. Bukan berarti, old-institutionalism menjadi tidak berlaku lagi dengan adanya new-institutionalism. Penyerderhanaan dengan tujuan praktis, bagaimana kerangka konsepsual ini dapat digunakan dengan mudah dalam konteks penelitian ini. Sebuah kritik terhadap kajian instiutional kemudian muncul dari kalangan cendekiawan yang menekuni bidang ini sendiri. Kritik tersebut berkaitan dengan bagaimana hubungan antara kuasa power dengan institusi terutama dalam hubungannya dengan kekuatan suatu institusi. MerujukScott, 2004 institusi merupakan struktur otoritatif untuk memaksakan aturan/kesepakatan yang dikandungnya kepada lingkungannnya, termasuk berbagai actor -manusia di dalamnya Lawrence 2008. Jika demikian halnya, lalu apakah tidak ada kaitan sama sekali antara politik sebagai cara untuk mendayagunakan kuasa untuk mencapai tujuan dengan keberadaan suatu institusi? Mengapa aspek politik kuasa ini belum jika tidak mau disebut “diabaikan” dibahas secara detil. Akibatnnya tekanan institusional lihat misalnya DiMaggio dan Powell, 1991 dianggap sebagai sebuah hal yang muncul begitu saja, tanpa harus memperhatikan bagaimana sistem kekuasaan itu bekerja sehingga tekanan itu terbentuk, bertahan ataupun menghilang. Situasi ini dianggap kontradiktif jika dikembalikan pada definisi institusi sebagai sebuah pola aturan perilaku yang dipatuhi dan berdaya tahan lama. Bagaimana mungkin membahas keberadaaan suatu hal yang dipatuhi dan mempunyai daya tahan tanpa membicarakan kuasa dan politik, demikian pandangan Lawrence 2008. Atas oto kritiknya terhadap analisis institusional ini, kemudian Lawrence 2008 mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mencoba menjelaskan hubungan antara politik dengan institusi. Pada dasarnya kerangka pemikiran ini muncul untuk melengkapi beberapa kerangka pemikiran sebelumnya yang terhimpun dalam analisis neo-institutional. Gagasan tentang politik-institusional ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperlengkap kajian neo-institusional yang cenderung menitikberatkan kajiannya pada tekanan dan logika institusional Meyer dan Rowan, 1977;Thornton dan Ocasio, 2008, namun lalai untuk menelaah lebih jauh bagaimana tekanan ataupun logika tersebut berasal. Kajian Lawrence 2008 kemudian menawarkan sebuah kerangka pemikiran yang disebut sebagai politik-institusional institusional politics. Konsep ini menawarkan proposisi bahwa kuasa power merupakan salah satu pembentuk hubungan antara aktor dengan institusi dan hal ini harus secara eksplisit ditelaah keberadaannya. Kerangka pemikiran ini menjelaskan lebih lanjut bahwa politik-institusional terdiri dari tiga aspek yang saling-memengaruhi yakni kontrol-institusional institutional-control, keagenan-institusional institutional-agency, dan resistensi-konstitusional institutional-resistance. Politik-institusional bekerja sebagai pembentuk, pengubah ataupun penghapus institusi baik pada level institusi tunggal maupun antar-institusi organizational-field. Gambar 2 menjelaskan politik-institusional sebagai kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini. Kuasa, Teks, Wacana dan Institusi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Bagian ini merupakan upaya penulis untuk membuat kerangka pemikiran politik-institusional yang ditawarkan Lawrence 2008 lebih mudah diaplikasikan untuk memahami keberadaan sebuah institusi sosial dalam hal ini adalah implementsi SPNsE dengan menggunakan teknik interpretive policy anaysis yang pada dasarnya adalah penerapan analisis wacana. Artinya pemahaman akan bagaimana politik-institusional itu ada dan memengaruhi sebuah institusi dalam suatu konteks sosial tertentu dapat dipahami dengan menggunakan pemahaman akan kuasa dan wacana. Dalam konstruksi pemikiran seperti itu maka penulis mengajukan sebuah kerangka analisis berbasis proposisi yang diajukan Phillips, et al.2004 dan Jones 2003 tentang bagaimana hubungan yang dapat terjadi antara kuasa, teks, wacana dan institusi. Kerangka yang dikembangkan inilah yang nantinya akan digunakan untuk menggali dan membahas temuan penelitian. Jones 2003 dengan merujuk teori wacana Foucault, menyatakan bahwa dengan berwacanalah manusia dapat menyatakan dan memahami realitas. Lebih lanjut, diuraikan bahwa jika seseorang ingin memahami situasi sosialpada suatu waktu tertentu, maka ia dapat melakukannya dengan memahami wacana apa yang dominan di lingkungan dan saat tertentu itu. Pada sisi lain Phillips, et al. 2004 dengan terlebih dulu menjelaskan bagaimana teks menjadi wacana, pada akhirnya mengajukan sebuah proposisi yang cukup menantang, bahwa “semua institusi merupakan produk diskursif, sementara itu tidak semua produk diskursif merupakan institusi”. Jadi secara sederhana dapat digambarkan secara linier bahwa antara wacana teks yang dominan itu mengalami “institusionalisasi”. Pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan perubahan bentuk teks, wacana dan institusi tersebut? Jawabannya menurut Foucault sebagaimana didukung oleh Jones 2003 adalah kuasa. Untuk itu, sebagaimana telah diungkapkan pada awal bagian ini, pemahaman akan hubungan antara kuasa, teks, wacana dan institusi merupakan prasyarat penting dalam menggunakan konsep politik-institusional untuk menelaah keberadaan dan fungsi suatu institusi. Kerangka Penelitian Riawanti 2015 menyakan kerangka penelitian sebagai pedoman umum tentang bagaimana seorang peneliti mencari jawaban atas masalah penelitian yang diajukannya. Kerangka ini mencakup 1 hal-hal pokok yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama lain; 2 mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang terjadi dengan gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. hipotesis yang umum atau teori sementara sang peneliti. Jika diperlukan, kerangka ini dapat saja menyertakan hipotesis di dalamnya. Namun perlu diingat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif merupakan pedoman jalannya penelitian, bukan pernyataan yang akan diuji kebenarannya. Artinya, hipotesis dalam penelitian kualitatif dapat dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dengan penelitian itu mampu memberikan pemahaman memuaskan tentang gejala/situs/situasi yang sedang diamati. Berdasarkan konteks kasus yang diteliti, tinjauan literatur yang telah dikemukankan beserta uraian tentang kerangka penelitian, maka penelitian ini mengajukan kerangka pemikiran sebagai berikut ini. Kerangka ini jua merupakan penegasan atas tujuan penelitian, bahwa penelitian ini sebagai penelitian sosial kualitatif-interpretif adalah upaya untuk memahami sebuah konstruksi sosial yang berupa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE. Adapun sumber beserta teknik analisis data yang digunakan akan dijelaskan dalam bagian metode penelitian. Gambar 3 Kerangka Penelitian 4. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian merupakan cara peneliti untuk memilih paradigma, strategi, jenis bukti, dan Sumber datadokumentasi sistem, teknik interpretive police analysis Gambar 2 Politik-Institusional Sebagai Interaksi Antara Institusi dengan Aktor melalui Kontrol-, Resistensi-, dan Keagenan-Institusional Sumber Lawrence, 2008 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 teknik pengumpulan data penelitian yang sesuai dengan tujuan dan konteks penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma interpretif. Riset dalam paradigma interpretif mengasumsikan bahwa pengetahuan tentang realitas diperoleh melalui konstruksi sosial seperti bahasa, makna yang disepakati dalam sebuah masyarakat, berbagai dokumen atau artefak lainnya Yin, 1981; Howcroft dan Trauth, 2004; Moleong, 2010; Djamhuri, 2011; Wahyuni, 2012. Riset ini menggunakan metode penelitian studi kasus untuk menyelidiki fenomena empiris berupa implementasi SPNsE sebagai unit analisis yang tidak dapat dilepaskan dari konteks nyata kesehariannya bukan eksperimen dan datanya dianalisis secara kualitatif tidak menggunakan teknik statistika tertentu. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata Yin, 1981; 2009; 2011. Penelitian ini memenuhi kriteria studi kasus kasus tunggal sebagaimana yang dikemukakan Yin 2009 karena fenomena yang diteliti merupakan hal yang unik dan juga sekaligus sedang dan masih berlangsung. Objek penelitian ini adalah kebijakan publik dalam bentuk implementasi sistem-administrasi pemerintahan berbasis teknologi merupakan sebuah konstruksi sosial yang dapat dimaknai/ditafsirkan oleh para pemangku kepentingannya. Dalam pandangan Walsham 1993;2006, riset interpretif dengan objek sistem informasi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks sebuah sistem informasi beserta proses yang dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Perlu diperhatikan bahwa oleh para pemangku kepentingan dari sistem yang diteliti adalah agen-manusia yang mempunyai tafsir interpretasi tertentu berdasarkan latar belakang sosial mereka Myers, 1997; Walsham, 2006; Myers dan Klein, 2011. Berkaitan dengan objek penelitiannya, penelitian ini memilih untuk menggunakan interpretive policy analysis IPA sebagai kerangka kerja analisis data untuk membahas data penelitian, menggali temuan penelitian dan menyajikan hasil/temuan. Kerangka analisis data IPA pada dasarnya adalah suatu teknik analisis data kualitatif yang dikembangkan di bawah tradisi analisis wacana discourse analysis Glynos, et al., 2009. IPA dipilih karena pada dasarnya objek penelitan ini implementasi SPNsE adalah sebuah wacana discourse. Istilah wacana digunakan oleh banyak bidang kajian sehingga mempunyai bermacam-macam pengertian. Sosiologi mengartikannya sebagai konteks sosial pemakaian bahasa. Sedangkan menurut kajian bahasa linguistik, wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah Eriyanto, 2011. Sementara itu, psikologi memaknai seperangkat pernyataan yang saling mendukung untuk mengonstruksi sebuah objek Parker, 1992. Pada akhirnya penulis dengan merujuk berbagai pendapat yang telah diuraikan tersebut dan juga Hardy 2001; Berntsen, et al., 2004, Bondarouk dan Ruel 2004 dan Phillips, et al., 2004, mengajukan definisi wacana dalam tulisan ini yakni berbagai teks dalam berbagai bentuknya tertulis atau ujaran, dalam sebuah konteks tertentu yang menyertainya dan dalam letak kesejarahan tertentu. Sebuah teks dapat dipandang “unit diskursif” sebagai manifestasi dari wacana tertentu sehingga menjadikan suatu objek itu ada. Berdasarkan batasan tersebut, kebijakan pengembangan dan implementasi SPNsE dapat dipandang sebagai sebuah wacana yang dapat ditelaah dengan menggunakan kerangka kerja IPA. “Policy creates politics”, demikian ungkap Schattschneider dalam Weir 2003. Artinya, kebijakan policy selalu membawa konsekuensi munculnya hal-hal yang bersifat politik kuasa-wewenang untuk menjadikan kebijakan itu terwujud. Lantas bagaimana hubungan antara kebijakan dan politik itu dapat dianalisis lebih lanjut secara kualitatif? Pada prinsipnya kerangka kerja IPA merupakan tindakan analisis terhadap formulasi, pelaksanaan ataupun evaluasi suatu kebijakan dengan cara mendapatkan pemahaman atas konteks dari sebuah kebijakan beserta proses yang menyertasi, dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Yanow dalam Glynos, et al. 2009 menguraikan penggunaan teori wacana Foucault dalam melaksanakan IPA. Teori tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Jones 2003 mengartikan wacana sebagai cara berpikir dan bertindak yang berbasis pada pengetahuan. Aliran pemikiran ini selanjutnya mengemukakan bahwa untuk memahami perilaku manusia pada suatu tempat dan waktu tertentu, temukanlah terlebih dulu wacana-wacana yang terdapat atau bahkan mendominasi pada tempat dan waktu itu. Dalam kaitan ini, perlu juga diungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disampaikan oleh Bondarouk dan Ruel 2004 yang patut diperhatikan oleh peneliti pada saat menggunakan analisis wacana ini sebagai eksplorasi terhadap saling pengaruh antara wacana, teks dan konteks dan bagaimana memilih teks yang membentuk wacana. Selanjutnya ditekanan bahwa, analisis wacana tidak semata-mata memusatkan perhatian pada teks tunggal namun sebagai serangkaian teks dengan tetap memperhatikan batang utama teks itu. Sejalan dengan itu, analisis harus dilakukan juga atas kedudukan dan bagaimana teks itu diproduksi. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa dokumentasi sistem secara luas Bowen, 2009, baik berupa ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam sistem. Sumber data tersebut akan dilengkapi dengan berbagai rilis ataupun liputan di media massa online/offline. Penulis kemudian dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang ada selama ini akan melakukan tindakan interpretif dengan menelaah berbagai dokumen tersebut. Hal ini POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dilakukan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks dan kaitan sosio-historisnya Glynos, et al., 2009; Eriyanto, 2011, dan selanjutnya mengajukan penafsiran dan pemaknaan tertentu atas proses telaah tersebut. 5. TEMUAN DAN DISKUSI Pengantar Penelitian ini menganalisis data sekunder berupa berbagai dokumentasi Bowen, 2009, baik yang berupa peraturan, berbagai laporan dari berbagai otoritas terkait, manual/prosedur standar operasional, ataupun rilis di media massa online/offline yang berkaitan dengan perkembangan impelementasi SPNsE. Analisis terhadap data yang sudah dikumpulkan untuk mendapatkan temuan penelitian dilakukan sesuai dengan urutan langkah penggunaan teknik IPA yang sudah dikemukakan oleh Yanow dalam Glynos, et al. 2009 sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendekatan penelitian. Yanow sebagaimana dikutip Glynos et al. 2009 menguraikan secara ringkas langkah-langkah penggunaan teknik IPA dalam suatu penelitian tentang yang mengasumsikan kebijakan publik sebagai sebuah wacana. Urutan langkah tersebut adalah 1 identifikasi semua artefak bahasa, objek, tindakan yang membentuk makna dari kebijakan yang diteliti; 2 identifikasi para pihak yang terkait dengan kebijakan; 3 identifikasi wacana yang relevan, yaitu makna tertentu yang dikomunikasikan melalui artefak yang ada; 4 interpretasi harus dipusatkan pada titik konflik yang terjadi dan dihubungkan dengan dari mana sumber yang menyebabkan perbedaan pemaknaan antar aktor yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Bagian berikut akan mendiskusikan temuan penelitian. Diskusi ini dengan menggunakan teknik analisi data IPA menitikberatkan pada bagaimana terjadinya perputaran antara kontrol-, resistensi- dan keagenen-institusional sehingga hubungan timbal balik antara aktor-institusi dapat terbentuk. Penelitian ini menemukan setidaknya empat hal penting yang layak dielaborasi lebih jauh berkaitan bagaimana hubungan antara institusi dengan aktor yang terlibat di dalamnya merupakan hasil dari saling-pengaruh interplay antara kontrol-, resistensi- dan keagenan-institusional. Temuan ini sampai dengan tahap tertentu merupakan konfirmasi terhadap apa yang digagas oleh Lawrence 2008 sebagai institutional politics dengan beberapa catatan. Keempat hal tersebut adalah pertama, bagaimana praktik-praktik diskursif dapat mengubah SPNsE dari wacana menjadi institusi lihat Phillips, et al., 2004. Kedua, bagaimana kontrol-institusional menggunakan kuasa-sistemik mengubah perilaku aktor. Ketiga, tindakan aktor untuk menggunakan pengaruh pengaruh dan tekanan mereka untuk mengubah institusi. Keempat, bagaimana aktor menghadapi resist terhadap adanya kontrol- ataupun keagenan- institusional. Pada akhir bagian ini akan disampaikan refleksi atas temuan penelitian dan juga rekomendasi kebijakan yang mungkin dapat dipertimbangkan stakeholder pengelolaan keuangan negara/daerah dalam kaitannya dengan pengembangan sistem informasi manajemen keuangan. SPNsE sebagai Institusi yang dibentuk Wacana Reformasi politik 1998 juga membawa dampaknya pada reformasi pengelolaan keuangan pemerintah Indonesia Nasution, 2007. Dalam lensa analisis wacana, pemahaman akan perubahan sosial dapat dilihat dari wacana yang dominan pada sistem sosial yang ada Jones, 2003. Menurut hemat penulis salah satu wacana dominan yang berkaitan dengan reformasi administrasi, termasuk di fungsi pengelolaan fiskal adalah isu tentang tata kelola governance dan transformasi kelembagaan. Boediono 2008; 2009 dan juga Sri Mulyani Indrawati Depkeu, 2009 menekankan pentingnya perubahan mendasar pada sisi governance ini sebagai pijakan awal untuk menuju pengelolaan fiskal yang transparan dan akuntabel. Lebih lanjut, Depkeu 2009 mengemukakan penting pengembangan sistem berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagai perangkat pengelolaan keuangan negara yang efisien. Selain tata kelola, wacana dominan yang dikembangkan oleh kementerian ini adalah transformasi kelembagaan. Kemenkeu 2015 menyatakan bahwa proses transformasi mencakup transformasi organisasi dan implementasi inisiatif strategis di seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan dan dititikberatkan pada 87 inisiatif strategis untuk lima tema utama transformasi, yaitu sentral meliputi organisasi, SDM dan TIK, dan Manajemen Kinerja, perpajakan, kepabeanan dan cukai; penganggaran; dan perbendaharaan. Jadi teks yang menjadi wacana dominan dalam proses reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan adalah tata kelola dan transformasi kelembagaan. Salah satunya adalah membangun sistem administrasi modern yang berbasis TIK sehingga layanan menjadi efisien, transparan dan akuntabel. Teks ini kemudian menjadi wacana dan institusi melalui pratik diskursif tertentu. MPN bahkan dibangun dengan niatan untuk menjadi tulang punggung reformasi birokrasi “ ... Dengan disokong oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan, serta Sekretariat Jenderal, MPN menjadi sebuah program Kementerian Keuangan dan menjadi salah satu backbone reformasi birokrasi. ...” DJPbn, tanpa tahun Tekad untuk menjadi backbone tersebut tentu saja harus didukung dengan strategi implementasi kebijakan yang memadai. Dalam pandangan penulis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana mengelola politik-institusional secara bijak. Pada tahapan selanjutnya, kedudukan MPN semakin diperkuat yang secara teknis dinyatakan POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dalam bentuk penambahan fitur baru seperti billing system dan tersedianya berbagai channel baru pembayaran ke kas negara melalui ATM, EDC , i-banking ataupun m-banking. Situasi yang sedemikian ini, merujuk proposisi yang diajukan Phillips, et al. 2004, menunjukkan bahwa salah satu cara untuk membentuk atau memperkuat institusi adalah bagaimana aktor memilih teks yang akan menjadi wacana dominan dan kemudian melalui praktik diskursif tertentu akan membentuk sebuah institusi. Kontrol-Institusional Institusi dan Kuasa-Sistemik Mengapa otoritas perpajakan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan istilah “monitoring pelaporan pembayaran” bukan “pembayaran pajak”? Jawabnya karena harus disadari sebenarnya tugas otoritas perpajakan adalah mengawasi apakah Wajib Pajak sudah melunasi pajaknya dengan menggunakan informasi transaksi penerimaan keuangan negara yang sah dengan bersumber dari otoritas perbendaharaan. Walaupun otoritas perpajakan menginginkan informasi pembayaran yang lebih cepat dan tepat waktu dengan memanfaatkan sistem berbasis TIK namun pada saat itu tidak dapat mengembangkan sistem itu sendiri. Pengembangan sistem pembayaran tersebut adalah wewenang pada sisi otoritas perbendaharaan. Otoritas pajak merupakan pengguna sistem informasi pembayaran elektronik yang dikembangkan oleh otoritas perbendaharaan. Walaupun kedua otoritas ini masih berada di bawah satu kementerian yang sama Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal, namun koordinasi untuk penyediaan informasi pembayaran pajak secara cepat dan andal masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Dalam pengembangan sistem MP3, otoritas perpajakan sampai dengan tingkat tertentu mengambil keputusan yang dapat dikatakan melampaui wewenangnya. Atas dasarnya inilah, dalam hemat penulis kemudian sistemnya diidentfikasi dengan “monitoring pelaporan”, bukan secara tegas menyebut “sistem penerimaan pajak”. Jika politik diartikan sebagai bagaimana mencapai tujuan dengan cara yang memungkinkan, maka situasi ini merupakan fakta bahwa politics matter in institutional analysis yang ditemukan dalam konteks bagaimana sebuah institusi terbentuk dari tekanan kontrol-institutional yang bersifat politis/kuasa-sistemik. Namun situasinya menjadi berbeda jika dibandingkan dengan adanya peranan IMF yang meminta atau mungkin dapat dikatakan “memaksa”, dengan menjadikan sistem ini sebagai bagian dari Letter of Intent Pemerintah RI untuk mewujudkan sistem pembayaran elektronik untuk mengadministrasikan pembayaran pajak sebagai langkah meminimalkan indikasi “kebocoran” yang terjadi Brondolo, et al., 2008; Dwiputranto, 2008; Depkeu, 2009. Konteks yang ikut melengkapi dan perlu dipertimbangkan dalam situasi ini adalah bahwa saat itu otoritas perpajakan sedang membangun kantor pelayanan pajak yang khusus menangani wajib pajak besar dan termasuk di dalam rangkaian pembentukan itu adalah adanya fasilitas pembayaran secara online. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-383/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran Setoran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line dan Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Bentuk Digital. Dalam situasi yang demikian ini ternyata kontrol-institusional “internal” dilihat dari lingkungan organisasi Kementerian Keuangan kurang kuat memicu perubahan institusi. Sebaliknya, kuasa-sistemik disiplin, dominasidari institusi eksternal sebagai kontrol-institusional mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam mengubah perilaku aktor. Resistensi-institusional sebagai respon dari para aktor terhadap kontrol-institusional dapat saja berupa penolakan atau dukungan. Pelajaran penting dari situasi ini adalah bagaimana menciptakan resistensi-institusional yang sesuai dengan keinginan pemilik kontrol. Apakah yang diinginkan dari resistensi-institusional harus selalu dukungan? Dalam hemat penulis, belum tentu. Karena bisa saja pemilik kontrol-institusional masih menginginkan suatu institusi itu bertahan. Bagian dari politik-institusional adalah bagaimana menggunakan kontrol-instistusional untuk memengaruhi tindakan aktor untuk membuat atau menghapus institusi. Keagenan-Institusional Pengaruh dan Tekanan Aktor Terdapat sebuah fenomena menarik berkaitan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai SPNsE ini. Pada tahun 2003 otoritas perpajakan Indonesia mengajukan inisiatif pengembangan suatu sistem-aplikasi yang disebut sebagai Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3. Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak, mengajukan inisiatif sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 keputusan ini “Pembayaran Pajak dengan menggunakan SSP khusus dianggap telah masuk ke rekening Kas Negara apabila informasi pembayaran setoran pajak yang diterima dari Direktorat Informasi Perpajakan melalui Sistim Informasi Perpajakan atau Sistim Administrasi Perpajakan Terpadu telah sesuai dengan DNP/RDD yang diterima dari KPKN mitra kerja atau Kanwil/KPP Koordinator.” Pengembangan dan implementasi sistem MP3 ini dalam kerangka kerja politik-institusional yang diajukan Lawrence 2008 dapat dipandang sebagai keagenan-institutional. Kebertindakan-agen untuk menghilangkan suatu institusi yang stabil sistem POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 administrasi pembayaran pajak saat itu masih manual, belum menggunakan mekanisme transaksi elektronik secara real time dengan institusi yang baru sebuah lingkungan sistem berbasis layanan elektronik sebagaimana dijelaskan oleh Darono, 2011. Demikian pula halnya DJA selaku otorisator PNBP sebagai aktor, implementasi MPN-G2 memungkinkan ekstensi fitur sistem-aplikasi Simponi-PNBP dengan mekanisme billing sebagaiman yang selama ini telah telah dikenal dalam sistem pembayaran di sektor komersial. Keberhasilan MPN menjadi sebuah institusi yang stabil dalam struktur pengelolaan keuangan negara sebagai dampak dari adanya kontrol-institusional tertentu pada gilirannya menimbulkan tindakan-agen untuk mengubah institusi yang telah ada tersebut menjadi lebih kompatibel dengan perubahan sosial. Pada setting situasi yang lain, ternyata kebijakan impelementasi sistem aplikasi MPN ternyata menjadikan bank persepsi bertindak dan menggunakan pengaruh mereka keagenan-instutitonal sebagai salah satu aktor dalam sistem penerimaan negara dengan menjadikan kemampuan mereka melakukan pertukaran data pembayaran tagihan pajak ataupun pada tahap berikutnya adalah penerimaan negara secara umum untuk memengaruhi institusi yang ada dalam pengaruh bank persepsi tersebut misalnya cara para nasabah melakukan pembayaran. Ambil contoh tanggapan dari salah satu bank yang terkait dengan hal ini, yang mengungkapkan implementasi MPN-G2 sebagai peluang bisnis baru “ ... BRI akan kerahkan 19 ribu ATM, lebih dari 85 ribu EDC, dan lebih dari unit kerja BRI di seluruh Indonesia, BRI siap memberikan kemudahan dan beragam pilihan bagi WP, WB maupun WS untuk melakukan transaksi pembayarannya,” ujarnya. ... “ Sumber Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik juga merupakan keagenan-institusional yang membawa perubahan yang membawa kemudahan bagi pembayaran/penyetoran pajak. Kemudahan tersebut adalah 1 diizinkannya penggunaan EDC sebagai sarana pembayaran pajak, melengkapi yang selama ini telah ada; 2 Kode Billing dapat diperoleh secara host-to-host dari sistem milik pembayar/penyetor, dengan bank persepsi dan sekaligus dengan otoritas perpajakan. Hal ini secara eksplisit sudah ditawarkan sebagai bagian dari layanan cash management beberapa bank lihat misalnya publikasi/advertorial BRI tanpa Tahun; BNI tanpa tahun; dan juga Bank Mandiri tanpa tahun. Sepertinya untuk jenis pembayaran/penyetoran lain akan tiba waktunya dibuka layanan host-to-host dengan sistem-aplikasi SPNsE/MPN-G2. Sorotan highlight dari bahasan atas fakta penelitian di bagian ini adalah bahwa kerangka politik-institusional yang ditawarkan oleh Lawrence 2008 ternyata belum menjelaskan bagaimana keagenan-institusional melalui pengaruh/tekanan itu berjalan. Temuan penelitian ini mengungkapkan, bahwa kontrol-institusional itu malah dapat terwujud dengan adanya institutional entrepreneur, agen yang mampu bertindak untuk membuat atau mengubah institusi yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan situasi sosial-organisasional. Resistensi-Institusional Praktik-praktik Diskursif Aktor Bagian ini diawali dengan kembali merujuk kasus pembangunan sistem-aplikasi MP3 oleh otoritas perpajakan. Pertanyaannya, sekali lagi, adalah mengapa otoritas perbendaharaan pada waktu itu tidak segera merespon permintaan otoritas perpajakan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah sistem pengolahan pembayaran pajak secara real-time sehingga harus ada terlebih dulu sistem MP3, baru kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi MPN dan MPN-G2? Pada situasi inilah perlu diperhatikan adanya reaksi-aktor oleh Lawrence, 2008 disebut sebagai resistensi terhadap kontrol- ataupun keagenan- institutional yang diperlihatkan oleh masing-masing aktor. Fenomena ini sebenarnya adalah munculnya sebuah resistensi-institusional dari para aktor yang terlibat sebagai bentuk reaksi mereka terhadap kontrol ataupun tindakan yang harus mereka hadapi. Dalam satu situasi bisa saja langsung menolak ataupun sebaliknya langsung menerima. Mengapa implementasi sistem-aplikasi MP3, MPN, MPN-G2 mengalami berbagai dinamika yang berbeda-beda walaupun aktor dan institusinya relatif sama? Jawabannya, dalam hemat penulis adalah bentuk resistensi-institusional yang ada pada setiap tahapan implementasi tersebut berbeda-beda, bergantung merujuk Foucault dalam Jones, 2003 pada wacana yang mendominasi atau praktik-diskursif yang terjadi pada setiap situasi. Wacana yang mendominasi situasi otoritas perpajakan saat itu adalah tuntutan modernisasi layanan pajak lihat Brondolo, et al., 2008; Boediono, 2009 yang hal itu bahkan adalah bagian dari janji kepada pihak lain yang memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi dari deraan krisis ekonomi. Sementara itu, dalam hemat penulis rasa keterdesakan sense of urgencyyang sama belum ditemukan di sisi otoritas yang lain. Akibatnya, resistensi-institusionalnya akan berbeda. Namun demikian, resistensi-institusional ini belakangan dapat dikatakan berkurang drastis jika tidak dapat dikatakan telah hilang sama sekali. Situasi demikian ini dapat dilihat dari inisiatif untuk mengoneksikan bank persepsi dengan DJPb dan selanjutnya dengan DJP/DJA/DJBC dalam bentuk MPN bahkan kemudian menjadi SPNsE MPN-G2 dengan segala kampanye kepada publik tentang fitur unggulan dan kemanfaatannya menjadikan resistensi-institusional atas implementasi sistem ini seolah tidak POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pernah ada. Artinya, dalam pandangan penulis, hali ini menunjukkan bagaimana praktik diskursif para aktor untuk memilih teks, wacana, dan institusi menjadi penting dalam menghadapi resistensi-institusional. Catatan penulis pada bagian ini jika dihubungkan dengan bahasan pada temuan pada bagian sebelumnya adalah pentingnya pengguna konsep politik-institusional ini menerapkannya sebagai bentuk yang simultan. Tidak bisa seseorang melihat sebuah fenomena hanya sebagai kontrol-institusional atau keagenan-instituisonal saja. Namun, kajian harus dilakukan secara serentak bahwa kontrol akan menimbulkan resistensi yang dampaknya sampai pada tindakan keagenan. Selebihnya penulis setuju dengan apa yang ditawarkan Lawrence 2008, bahwa kajian institusional perlu mempertimbangkan aspek politik di dalamnya. Refleksi dan Rekomendasi Kebijakan Lawrence 2008 mengajukan konsepnya tentang bagaimana politik kuasa-wewenang seharusnya didudukkan dalam analisis institusional namun ternyata dia tidak menjelaskan lebih detil tentang 1 dari mana aktor mendapatkan ide/gagasan/tekad untuk menjalan resistensi-institusional untuk merespon kontrol-institusional ataupun keagenan-institusional?; 2 aktor manakah yang mampu paling mungkin melaksanakan keagenan-institusional? Jawabannya adalah 1 institutional logics; 2 institutional entrepreneurs. Penelitian ini sebagai hasil studi empiris ingin mengajukan rekomendasi kebijakan,yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan reformasi birokrasi secara umum ataupun secara khusus mereka yang memangku implementasi sistem informasi bebasis TIK untuk pengelolaan keuangan negara atau daerah. Rekomendasi ini sebenarnya semacam penerapan prinsip transferability kesimpulan sebuah studi kasus untuk dapat diterapkan transfered ke kasus situasi yang lain. Rekomendasi tersebut adalah 1 aspek teknis tetap merupakan syarat mutlak keberhasilan implementasi sistem berbasis TIK, hal ini menyangkut validitas data ataupun kinerja sistem misalnya waktu respon atau akses yang efisien; 2 aspek politik-insittusional untuk melihat bagaimana sistem yang dibangun ini jika diletakkan dalam konstelasi sistem yang telah ada existing system. Artinya memahami kontrol-institusional, keagenan-institusional dan resistensi-insitusional sebagai sebuah rangkaian yang utuh dari berbagai institusi yang ada merupakan modal penting kesuksesan implementasi sebuah sistem. Dalam kerangka konsepsual politik-institusional dan relasi wacana-institusi, dengan menggunakan teknik analisis wacana, sistem pembayaran merupakan adalah teks yang menjadi wacana dan kemudian menginstitusi. Teks itu menjadi institusi karena kedudukan aktor yang mampu menggunakan kuasa-episodik untuk menghilangkan institusi lama sistem pembayaran yang masih manual, yang sarat dengan pekerjaan klerikal dan menggantinya dengan institusi baru SPNsE. Bahkan, lebih dari itu institusi baru yang dibentuk tersebut mampu memengaruhi para aktor yang terlibat di dalamnya dan juga mampu menarik aktor baru melalui kuasa-sistemiknya. 6. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan dengan menggunakan teknik IPA yang telah dilakukan di atas, kesimpulan sekaligus lesson-learned dari kasus yang dianalisis ini adalah 1 kontrol-institusional dapat mengakselerasi muncul SPNsE sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauan-kuasa sang aktor. Namun pantas dicatat, pada situasi yang lain keagenan-institusional relatif berhasil mentransformasikan institusi yang berada di dalam jangkauan-kuasa aktor. Apa yang membedakan situasi tersebut? Resistensi-institusional, yaitu bagaimana aktor merespon disiplin/dominasi yang datang kepada mereka dan kemudian bagaimana mereka mengubahnya menjadi pengaruh/tekanan terhadap institusi yang ada, apakah mereka hendak menghapus dan membuat institusi baru atau mengubah institusi yang sudah ada. Dari sisi metodologi penelitian, tulisan ini dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ditawarkan Lawrence 2008 berusaha memberikan alternatif sudut pandang untuk memahami bagaimana saling-pengaruh interplay aspek-aspek politik-institusional dalam proses pengembangan dan implementasi suatu sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Kerangka pemikiran tersebut dapat digunakan dengan beberapa catatan bahwa peneliti harus jeli dalam menangkap fenomena yang muncul untuk kemudian menetapkan dari titik mana ia akan memulai analisisnya. Dalam pandangan penulis, kerangka kerja ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti di bidang TIK-organisasi khususnya di Indonesia untuk melengkapi berbagai kerangka pemikiran yang selama ini telah digunakan, terutama pada saat penelitian yang menggunakan pendekatan non-positivitik dengan tujuan memahami implementasi TIK sebagai artefak sosio-teknikal. DAFTAR PUSTAKA Avgerou, Chrisanthi. 2000,"IT and Organizational Change an Institutionalist Perspective." Information Technology and People, 134, pp. 234 - 62. Avgerou, Chrisanthi. 2004, "IT as an Institutional Actor in Developing Countries," S. Krishna dan S. Madon, The Digital Challenge Information Technology in the Development Context. Aldershot, UK Ashgate Publishing, 46-62 BankMandiri. tanpa tahun, "Dorong Peningkatan Penerimaan Pajak, Mandiri Edukasi Perusahaan," URL POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Berntsen, Kirsti E.; Sampson, Jennifer dan Østerlie, Thomas. 2004, "Interpretive research methods in computer science," URL BNI. tanpa tahun, "SEKILAS CASH MANAGEMENT," URL Boediono. 2009, "Kebijakan Fiskal Sekarang dan Selanjutnya," A. Abimanyu dan A. Megantara, New Era of Fiscal Policy Pemikiran, Konsep dan Aplikasi. Jakarta Penerbit Buku Kompas Bondarouk, Tatyana dan Ruel, Huub. 2004, "Discourse analysis making complex methodology simple.". The European IS Profession in the Global Networking Environment. Turku School of Economics and Business Administration, Turku, Finland. , 2004 Bowen, Glenn A. 2009,"Document Analysis as a Qualitative Research Method." Qualitative Research Journal, 92, pp. 27-40. BRI. tanpa tahun, "Cash Management System BRI," URL Brondolo, John; Silvani, Carlos; Borgne, Eric Le dan Bosch, Frank. 2008, "Tax Administration Reform and Fiscal Adjustment The Case of Indonesia 2001-07," IMF Working Paper Washington, Fiscal Affairs Department - International Monetary Fund, 2008 Bungin, Burhan. 2012, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta Kencana Predana Media Group Carls, Paul. tanpatahun, "Émile Durkheim 1858—1917," The Internet Encyclopedia of Philosophy, URL Cole, D. H. 2013,"The Varieties of Comparative Institutional Analysis." Wisconsin Law Review, 2013, pp. 383-409. Currie, Wendy. 2008, "Institutionalization of IT Compliance A Longitudinal Study". International Conference on Information System ICIS. 2008 Darono, Agung. 2011, "Modul Penerimaan Negara Tinjauan terhadap Fungsinya sebagai Layanan Elektronis". The Conference on Information Technology and Electrical Engineering CITEE 2011. Electrical Engineering and Information Technology Department, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2011 Darono, Agung. 2012, "Tinjauan Interpretatif terhadap Aspek-Aspek Institusional dalam Implementasi Layanan Elektronik Studi Kasus PT. XYZ," Magister Teknolog Informasi. Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Darono, Agung. 2013a, "Paradigma Kritis dalam Penelitian Sistem Informasi di Indonesia Perlukah?". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta, 2013a Darono, Agung. 2013b, "Public Sector Innovation through e-Services The Case of Indonesian Tax Administration ". International Conference on Indonesia Development. The Hague, The Netherlands PPI Belanda, 2013b Darono, Agung. 2014, "Kajian Ekonomi-Politik Informasi di Indonesia Pentingkah?". Doctoral Colloquium and Conference. Faculty of Economics and Business - University of Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014 Darono, Agung. 2015,"Fiscal Management in Indonesia The Perspective of Political-Economy Information." Journal of Applied Indonesian Economics, 61, pp. 87-101. Depkeu. 2009, "“Menata Keuangan Negara Melalui Reformasi Birokrasi” Laporan Kinerja Departemen Keuangan 2004-2009," D. Keuangan, Jakarta, 2009 DiMaggio, Paul J. dan Powell, Walter W. 1991,"The Iron Cage Revisited Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields." American Sociological Review, 482, pp. 147-60. Djamhuri, Ali. 2011, "Paradigma dan Riset Akuntansi Interpretif," Accounting Research Training Series 2 Malang - East Java Faculty of Economics and Business - University of Brawijaya, 2011 DJPbn. 2014, "Direktur PKN Seluruh Penerimaan Negara Harus Disetorkan Melalui Bank/Pos Persepsi Dengan Menggunakan MPN," Jakarta Direktorat Jenderal Perbendaharaan DJPbn, URL DJPbn. tanpatahun, "Modul Penerimaan Negara MPN," Jakarta DJPbn, URL Dwiputranto, Antonius Danang. 2008, "State Revenue Module MPN as e-Government Implementation Its Impact towards Taxpayers' Services in Bahasa Indonesia," Department of Administration, Faculty of Social and Politic Sciences. Jakarta University of Indonesia, 2008 Eriyanto. 2011, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta LKiS Ezer, Jonathan Frederick. 2005, "The Interplay of Institutional Forces Behind Higher ICT Education in India," Department of Information Systems. Londo London School of Economics and Political Science, 2005 Glynos, Jason; Howarth, David; Norval, Aletta dan Speed, Ewen. 2009, "Discourse Analysis Varieties and Methods," ESRC National Centre for Research Methods Review, 2009 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Hardy, Cynthia. 2001,"Researching organizational discourse." International Studies of Management & Organization, 313, pp. 25-47. Howcroft, Debra dan Trauth, Eileen M. 2004, "The Choice of Critical Information Systems Research," B. Kaplan, D. P. T. III, D. Wastell, A. T. Wood-Harper dan J. I. DeGross, Information Systems Research Relevant Theory and Informed Practice. Springer IMF. 2003, "Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding," International Monetary Fund IMF, URL Jones, Pip. 2003, Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia Kemenkeu. 2015, "Frequently Asked Questions - Transformasi Kelembagaan," Jakarta Kementerian Keuangan Kemenkeu, URL Kling, Rob. 1999,"What is Social Informatics and Why Does it Matter?" D-Lib Magazine, 51. Kling, Rob; Rosenbaum, Howard dan Sawyer, Steve. 2005, Understanding and Communicating Social Informatics A Framework for Studying and Teaching the Human Contexts of Information and Communication Technologies. Medford, New Jersey Information Today Koentjaraningrat. 1983, Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta Gramedia Larsen, Allen, G.; Vance, A. dan Eargle, D. 2014, "Theories Used in IS Research," URL Lawrence, Thomas B. 2008, "Power, Institutions and Organizations," R. Greenwood, C. Oliver, R. Suddaby dan K. Sahlin, The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism, . London SAGE Publications Ltd, 170-98 Masdi, Arief. 2012, "Pembangunan SIMPONI Sistem Informasi PNBP Online," Warta Anggaran. Jakarta Direktorat Jenderal Anggaran, 2012 McLeod, Raymond dan Schell, George P. 2001, Management information systems. Englewoods Cliff Prentice Hall Meyer, John W. dan Rowan, Brian. 1977,"Institutionalized Organizations Formal Structure as Myth and Ceremony." American Journal of Sociology, 832, pp. 340-63. Moleong, Lexy J. 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja Rosdakarya Myers, 1997,"Qualitative Research in Information Systems." MIS Quarterly 212, June 1997, pp. 241-242. MISQ Discovery, archival version, 212 June 1997, pp. 241-42. Myers, Michael D. dan Klein, Heinz K. 2011,"SET OF PRINCIPLES FOR CONDUCTING CRITICAL RESEARCH IN INFORMATION SYSTEMS." MIS Quarterly, 35 1, March 2011, pp. 17 - 36. Nasution, Anwar. 2007, "Sambutan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan, 2007 Parker, Ian. 1992,"Discourse dynamics Critical analysis for social and individual psychology." Phillips, Nelson; Lawrence, Thomas B. dan Hardy, Cynthia. 2004,"Discourse and Institutions." The Academy of Management Review, 294; Oct. 2004, pp. 635-52. Riawanti, Selly. 2015, "Metode Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial," Bandung Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, URL Scott, W. Richard. 2004, "Institutional Theory Contributing to a Theoritical Research Program," K. G. Smith dan M. A. Hitt, Great Minds in Management The Process of Theory Development. Oxford University Press, Sunarto, Kamanto. 2004, Pengantar Sosiologi. Jakarta Lembaga Penerbit Universitas Indonesia Thornton, P. H. dan Ocasio, W. 2008, " Institutional Logics," C. O. Royston Greenwood, Roy Suddaby, Kerstin Sahlin-Andersson, The Sage Handbook of Organizational Institutionalism. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore Sage Publications, 99-129 Wahid, Fathul. 2011, "Explaining Failure of e-Government Implementation in Developing Countries a Phenomenological Perspective". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi SNATI 2011. Universita Islam Indonesia, Yogyakarta, 2011 Wahid, Fathul dan Sein, Maung K. 2013,"Institutional entrepreneurs The driving force in institutionalization of public systems in developing countries." Transforming Government People, Process and Policy, 71. Wahyuni. 2012, "studi eksploratori keselarasan strategi teknologi informasi dan strategi bisnis," S3 Manajemen UGM Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Walsham, Geoff. 1993, Interpreting information systems in organizations. London John Wiley and Sons Walsham, Geoff. 2006,"Doing interpretive research." European Journal of Information Systems 2006 15, 320–330, 15, pp. 320-30. Weir, Margaret. 2003, "Institutional Politics and Multi-Dimensional Actors Organized Labor and America’s Urban Problem," Crafting and Operating Institutions Conference. Yale University April 11-13, 2003, 2003 Worldbank. 2002, "The E-Government Handbook For Developing Countries," Washington Center for Democracy and Technology - World Bank, 2002 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Yin, Robert K. 1981,"The Case Study Crisis Some Answers." Administrative Science Quarterly, 261, pp. 58-65. Yin, Robert K. 2009, Case study research Design and methods 4th ed.. Thousand Oaks, CA Sage Yin, Robert K. 2011, Qualitative Research from Start to Finish. New York THE GUILFORD PRESS Yustika, Ahmad Erani. 2010, "Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional," Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Agung DaronoThis research aims to determine what institutional aspects may influence the organization to implement electronic services. This research used a qualitative-interpretive research method with a single case study research strategy. The findings of this research were 1 the type of institutional pressures normative/mimetic/coercive that surround the organization and the business impact of these pressures determines the response/action of organization isomorphism; 2 the organization uses its institutional logic to perform isomorphism, and the result was the decision to develop an electronic service as one of the steps to face existing institutional pressures. This research also proposed a framework which is expected to be used by an organization to identify the institutional aspects related to the implementation of electronic services as a mechanism to respond to these pressures by appropriate isomorphism action. Agung DaronoAs the State Treasurer, the Minister of Finance has the authority to determine the State Cash Receipt and Disbursement System. In this regard, the Minister of Finance has developed a State Revenue Module MPN as a revenue module which contains a series of procedures, from receipt, deposit, data collection, recording, and summarizing to reporting related to state revenue. From the viewpoint of the informatics discipline, MPN is a form of electronic service. This paper aims to analyze the function of MPN as an electronic service. This research is descriptive by describing what MPN is and analyzing it with several propositions related to electronic services. This study concludes that as an electronic service, MPN has several aspects whose performance can still be improved. One of these efforts is to complement MPN with a formal Service Level Agreement SLA between service providers and users. It is intended that all parties related to MPN services can have the same standard reference regarding the services provided. Apart from that, e-banking services in MPN should also be revitalized, so MPN users will increasingly utilize this facility. For this reason, it is necessary to think about incentive-disincentive strategies as the banking industry has succeeded in placing ATMs/e-banking as an alternative service that is increasingly in demand besides conventional services through bank tellers. Agung DaronoFiscal management is an effort to formulate fiscal policies to be implemented, controlled, and responsible based on the government regulation. For this purpose, fiscal authority undoubtedly needs an adequate support from the state’s financial information. The provision of information for the sake of this fiscal management cannot only be seen as an issue of economic information which tends to emphasize on the process of information allocation, production, distribution, and consumption as an economic commodity. Using political-economy information of conceptual framework, the information provision in the context of fiscal management is more of a constellation of various existing economic-information that should be correlated with the involved actors, and comprehensively take into account the surrounding social-political structure. By employing an interpretive policy analysis as the data analysis approach, this study finds that fiscal authority in Indonesia has gradually made a number of efforts to improve the mechanism of the nation’s financial information provision for those who have fiscal management interests, either from income information tax/non-tax or expenditure information. In some conditions, it is identified that the initiative of information provision for the advantage of fiscal management as well as its implementation requires proper political support. Fathul WahidThe empirical evidence indicates that most e-government implementation in developing countries suffer from either total or partial failure. Drawn upon the concepts offered by phenomenology and taking into account the design reality gaps and e-government dimensions proposed by Heeks 2003, this paper attempts to seek a fresh explanation of the phenomenon of e-government failure. Phenomenology as a theory, along with hermeneutics, offers a clear explanation on why e-government implementation fails. A better understanding of this phenomenon is expected to be useful to increase the chance of success and at the same time to reduce the risk of e-government failure. Agung DaronoThe use of information and communication technology ICT as contemporary social-, government-, or business- constellation requires more comprehensive analysis tools, broader than "just" technical-technological point of view. This study bring up a proposition that political-economy of information perspective can be deployed as a conceptual framework in order to simultaneously seek and reveal how economic aspects of a political-information constructs as well as political aspects of an economic-information constructs interplay each other, and in turn provide deeper understanding towards role and position of information as part of a social, public policy, or business constellation. By using secondary data gathered through documentation study, this proposed conceptual framework combined with critical discourse analysis then deployed to carry out a multiple cases study analysis to unwrap how do banking sector, public finance management, and telecommunications business utilize their information Agung DaronoPenelitian sistem informasi SI memerlukan skala yang lebih luas dari “sekedar” bagaimana menciptakan artefak-SI yang lebih mutakhir. Artefak-SI pada akhirnya menjadi bagian dari interaksi sosial. Jadi, penelitian SI perlu melibatkan perspektif struktural, hubungan antar-manusia, aspek institusional dan bahkan politik-antar-kelas. Untuk itu, penelitian SI dapat mempertimbangkan untuk menggunakan paradigma kritis critical information systems research. Paradigma penelitian adalah asumsi-asumsi dasar tentang apa menjadikan sebuah penelitian itu, “sah”. Paradigma kritis akan melihat artefak SI dari sudut pandang yang berbeda dengan paradigma positivis. Berbagai artefak-SI yang selama ini dilihat dari kacamata teknis-SI implementasi ERP atau keamanan basisdata misalnya, dapat ditelaah lebih dalam dengan menggunakan perspektif kritis seperti dominasi dan politik-antar-kelas, kekuasaan dan penguasaan, pembebasan, pemberdayaan, emansipasi, ataupun demokratisasi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat area penelitian SI di Indonesia yang memungkinkan penggunaan paradigma kritis ini. Harapannya, penelitian SI di Indonesia tidak hanya memandang praktik/artefak-SI sisi positivis saja, sehingga akan mendapatkan hasil penelitian dengan sudut pandang yang berbeda. Agung DaronoProviding simple, affordable and fast public services is a necessity in public administration, especially in tax administration. To simplify tax administration process, tax authority in Indonesia has initiated several types of service innovations. The main part of these innovative measures is based on electronic services e-services. These tax e-services include e-registration, e-payment and e-filing. They were introduced around mid-2002 in conjunction with organisational transformation initiative of the Directorate General of Taxes DGT as Indonesia’s tax authority. The purpose of this study is to unveil why and how the initiative of service innovation development based on e-services has taken place from the beginning until today’s recent implementation. This research deploys qualitative-interpretive method based on tax policies review. This paper uses institutional theory with discourse analysis as data analysis technique. The results of this study reveal that there are institutional pressures that affect the tax authority to start and provide service innovation through e-services. In the perspective of institutional pressures, the initiative brought by DGT to establish innovative services based on e-services basically came from their internal-normative pressures. But, such internal-normative pressures is not powerfull enough. Consequently, the e-services based e-payment initiatives could not be implemented because of legal provisions that are out of the tax authority hands. The initiatives gain its momentum for the DGT when normative pressure turns into coercive pressure. This change of pressures occurred at the time when the Government of Indonesia signed a memorandum with the International Monetary Fund IMF, in which one point in the agreement was to develop a real-time/on-line tax payment system that would integrate the banking institution as a point of payment, the treasury authority and the tax authority. This momentum was even then used by the tax authority to expand the types of those e-services, including e-registration and e-filing. Furthermore, results from these initiatives still run to this day. Even, there are some additional features built to simplify the whole tax administration systems. Finally, this case reveals how to utilize and manage the various institutional pressures surround an organisation and then to support service innovations initiative to improve organisational HardyIn recent years, the body of theory on organizational discourse has grown significantly, helping to form a specific field of study and also contributing to broader organization and management theory. During this time, empirical work using discourse analysis has also increased, as organizational researchers have drawn on methods established in other domains of study to examine organizations. However, the study of organizational discourse is not without difficulties, especially for researchers wishing to conduct empirical studies. This article identifies four particular challenges for empirical researchers and then describes how an ongoing program of organizational research using discourse analysis has attempted to address them. It also highlights some of the important contributions that empirical studies of organizational discourse can offer toward the understanding of organizational While institutional theory is used widely in the information system IS literature to study implementation of systems, the actual process of institutionalization has received less attention. The purpose of this paper is to address this gap in the literature by using three concepts drawn from the theory, namely, institutional isomorphism, institutional logic and institutional entrepreneurship, and the interplay between them to explore the role of the dominant institutional entrepreneur in the institutionalization of a public system, as an instance of e‐government initiatives. Design/methodology/approach In an interpretive case study, this study examined the institutionalization process of an e‐procurement system over a four‐year period 2007‐2011 in the Indonesian city of Yogyakarta. Findings This study reveals that different institutional isomorphism mechanisms emerge during the process and institutional logics evolve over time. More interestingly, it uncovers the dominant role of an institutional entrepreneur, the city's mayor, who mobilized resources and support to drive the institutionalization process. At the beginning stage, institutionalization is best described as a process of instilling values, cultivated by the mayor, followed by a process of creating reality through a typification process, whereby the e‐procurement system is embedded in the existing practices and institutionalized. Research limitations/implications As an interpretive study, the findings are generalized to theoretical concepts rather than the population. The interrelationship between the three concepts of institutional theory represents plausible rather than deterministic links. It also offers practical insights, such as e‐procurement implementation strategy. Originality/value This paper goes beyond simply using institutional theory as an interpretive lens by examining the interrelationship between the mechanisms of institutionalization. It shows that the main catalyst of the institutionalization process is the institutional entrepreneur who managed the institutional isomorphism and was instrumental in changing the institutional logic. It also presents lessons from a successful case where corrupt practices were highly institutionalized at the beginning but were decreased through the system.

Komunisadalah sistem politik tertutup, di mana kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan partai politik tidak ada. Di dalam sistem politik komunis, biasanya hanya ada 1 partai yang legal berdiri dan memerintah, yaitu Partai Komunis. Partai identik dengan pemerintah. Partai-partai lain ditiadakan dan jika pun terlanjur berdiri, akan dibubarkan.
Latihan Soal Pilihan Ganda Tentang Administrasi Keuangan Lengkap JawabanUploaded byalul 100% found this document useful 1 vote3K views4 pagesDescriptiontesOriginal TitletesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document100% found this document useful 1 vote3K views4 pagesLatihan Soal Pilihan Ganda Tentang Administrasi Keuangan Lengkap JawabanOriginal TitletesUploaded byalul DescriptiontesFull description
Jangkauan1) intern, yaitu interaksi antar komponen atau sub sistem dalam satu sistem. Di dalam sistem administrasi, misainya, terjadi interaksi intern antara struktur organisasi, kepegawaian, keuangan dan lain-lain, dalam tingkat konversi. 2) Ekstern, yaitu interaksi antara satu sistem dengan sistem lain, dalam tingkat input dan output.
Latihan Soal Pilihan Ganda Bab Administrasi Keuangan1. Interaksi antara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat...A. InternB. EksternC. FungsionalD. DeterministikJawabanB. Ekstern2. Dalam konteks model sistem, administrasi keuangan negara merupakan suatu proses yang bersifat dialektis, maksudnya adalah ...A. Antara faktor subjek dan objek serta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapiB. Melengkapi prosesC. Alat pengarah dan penilai sampai sejauhmana suatu sistem bergerak ke arah tercapainya tujuanD. Interaksi antar komponen atau subsistem dalam sistem administrasi keuanganJawabanA. Antara faktor subjek dan objek serta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi3. Prinsip APBN yang berkaitan erat dengan bantuan luar negeri adalah prinsip anggaran ...A. BerimbangB. TradisionalC. FungsionalD. Dinamis absolutJawabanC. Fungsional4. Anggaran dapat menjadi instrumen untuk pembagian kembali pendapatan dalam bentuk pembiayaan tranfer atau subsidi, karena anggaran memiliki fungsi ..A. AlokasiB. AkumulatorC. StabilisasiD. DistribusiJawabanD. Distribusi5. Sistem anggaran yang relatif tepat digunakan pada saat perekonomian mengalami inflasi adalah sistem anggaran ...A. SurplusB. BerimbangC. DefisitD. TradisionalJawabanA. Surplus6. Masalah yang memerlukan keputusan dalam siklus anggaran PPBS terutama yang berkaitan dengan biaya, arah program, dan alternatif kebijaksanaannya merupakan masalah ...A. Program utamaB. Struktur programC. Program indukD. ProgramJawabanA. Program utama7. Fungsi utama yang relatif efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam konteks keuangan negara adalah ...A. AlokasiB. StabilisasiC. DistribusiD. AkumulatorJawabanA. Alokasi8. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil adalah ...A. Traditional budgetB. Performance budgetC. Balance budgetD. Planning, programming budgeting systemJawabanB. Performance budget9. Semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah adalah ...A. Pendapatan daerahB. Belanja daerahC. PembiayaanD. Belanja pembangunanJawabanD. Belanja pembangunanSelanjutnya Soal Administrasi Keuangan Bagian 2 MengenalLebih Dekat Stabilitas Sistem Keuangan dan Makroprudensial. Indonesia pernah menjadi salah satu negara yang terkena dampak krisis keuangan global pada 1998 dan 2008. Dampak yang dirasakan oleh Indonesia antara lain pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi yang tinggi, serta perlambatan pertumbuhan perekonomian.
  • Չθбечуπучθ оቴехрադе ак
  • ነ ж
  • Ецоሞипուտጾ жисιсиձ
    • Угιкεч ι лεвикυ
    • Ожէмጯጫασ шуξዷцак ляжу епθдокроκ
.
  • kjz6yiywpu.pages.dev/896
  • kjz6yiywpu.pages.dev/61
  • kjz6yiywpu.pages.dev/902
  • kjz6yiywpu.pages.dev/323
  • kjz6yiywpu.pages.dev/386
  • kjz6yiywpu.pages.dev/27
  • kjz6yiywpu.pages.dev/644
  • kjz6yiywpu.pages.dev/511
  • kjz6yiywpu.pages.dev/996
  • kjz6yiywpu.pages.dev/31
  • kjz6yiywpu.pages.dev/509
  • kjz6yiywpu.pages.dev/450
  • kjz6yiywpu.pages.dev/652
  • kjz6yiywpu.pages.dev/668
  • kjz6yiywpu.pages.dev/649
  • interaksi antara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat