Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of “Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik” SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 8 Nomor 2, 2015, halaman 141-262 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara. STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Redaksi Prof. Heru Subiyantoro, Dr. Roberto Akyuwen, Yoopi Abimanyu, Mitra Bestari . Prof. Dr . Abdul Halim, Akt. Dr. Akhmad Makhfatih, Dr. Artidiatun Adji, M,Ec Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, Prof. Ir. Noer Azam Achsani. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, Dr. Ir. Tanti Novianti, Zaafri Ananto Husodo, Redaktur Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., Editor Ahli Muh Nurkhamid Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Nur Etaruni VMI Bimo Adi Sekretariat ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. 021 7394666 7204131; Faksimili 021 7261775,7244328; webpage e-mail jurnalbppk Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 JURNAL BPPK Volume 8, Nomor 2, 2015 DAFTAR ISI ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Studi Kasus Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum Renny Sukmono THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 213-228BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Balai Diklat Keuangan Malang, Indonesia, Email agungdarono Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berkaitan dengan pendapat atau kebijakan institusi penulis berafiliasi Diterima Pertama 29 September 2015 Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of “Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik” SPNsE, IT based state revenue administration system as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization government body could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with 1 particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; 2 the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; 3 the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; 4 some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors. Politik-institusional merupakan sebuah konsep untuk menggambarkan bagaimana kuasa-dan-wewenang aktor dalam organisasi menumbuhkan situasi saling-pengaruh interplay sehingga daripadanya suatu “institusi” yaitu sebuah pola perilaku tertentu yang stabil, berulang dan mempunyai tujuan akan muncul atau hilang. Pengembangan, implementasi, keberterimaan, dan juga ketahanan Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik SPNsE sebagai sebuah institusi juga tidak lepas dari proses saling pengaruh tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik interpretive policy analysis dengan memanfaatkan berbagai data sekunder berupa dokumentasi sistem dalam pengertian yang luas, dalam bentuk ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga nota kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan dan implementasi sistem. Pelajaran yang diperoleh dari implementasi SPNsE ini adalah bagaimana organisasi pemerintahan dapat memanfaatkan aspek politik-institutional ini dan kemudian menjadikannya sebagai pendorong pencapaian tujuan organisasi. Kesimpulan penelitian ini berupa pemahaman mendalam atas masalah penelitian, yakni bahwa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE berkelindan dengan 1 kontrol-institusional sebagai akselerator munculnya sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauankuasa sang aktor. agensi institusi kontrol penerimaan negara resistensi 1. PENDAHULUAN Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berwenang menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, Menteri Keuangan telah menerbitkan beberapa peraturan, terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/ tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik selanjutnya PMK-32. Penerbitan PMK-32 ini merupakan bagian dari serangkaian ketentuan yang telah keluar sebelumnya secara bertahap untuk melengkapi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pelbagai ketentuan tentang sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Dari sudut pandang bagaimana alur sebuah sistem direncanakan hingga diimplementasikan lihat misalnya McLeod dan Schell 2001, terdapat sebuah gejala yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut terkait dengan keberadaan sistem penerimaan negera ini. Telaah yang diharapkan dapat digunakan untuk memahami bagaimana implementasi sebuah sistem informasi di sektor pemerintahan berlangsung dengan sukses. Salah satu dokumen penting yang menandai tahapan pengembangan dan implementasi sistem tersebut adalah adanya surat yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tertanggal 16 September 2003 kepada International Monetary Fund IMF. Surat ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian pemberian bantuan keuangan untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 IMF, 2003. Surat tersebut antara lain menyatakan bahwa “… By June 2003, the electronic tax filing and payment system will be expanded to process 75 percent of DGT tax collections… “. Atas pernyataan dalam surat tersebut kemudian Menteri Keuangan mengambil tindakan, yang antara lain adalah mengeluarkan beberapa peraturan untuk; 1 mengubah persyaratan penunjukkan sebuah bank atau tempat lain yang dapat menjadi tempat pembayaran ke kas negara antara lain adalah bank ataupun kantor pos yang mampu melakukan komunikasi data dengan pihak otoritas perbendaharaan Menteri Keuangan Direktur Jenderal Perbendaharaan melalui standar tertentu; 2 mengatur mekanisme pengesahan penerimaan negara melalui bank persepsi dengan sebuah sistem-aplikasi yang disebut dengan Modul Penerimaan Negara MPN Darono, 2011; 2013b. Berbagai ketentuan yang berkaitan ini secara bertahap terus diperbaiki hingga terbitnya peraturan tentang Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik/SPNsE lihat Tabel 1 untuk perkembangan keberadaan sistem ini. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa SPNsE ini telah dirilis dan berjalan dengan nama yang dikenal secara populer sebagai “MPN-G2” DJPb, 2014; DJPb, tanpa tahun. Pada tahap ini perubahan signifikan yang terjadi adalah adanya fasilitas kode billing yang digunakan sebagai sarana berbagai jenis setoran penerimaan negara pajak, bea masuk, cukai ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP sehingga selain secara konvensioal melalui teller pembayaran/penyetoran dapat dilakukan melalui ATM, internet banking ataupun Electronic Data Capture EDC . Sistem yang dikembangkan tersebut secara teknologi dapat dikatakan menjadi tonggak sejarah penting pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi TIK dalam sistem informasi manajemen keuangan negara di Indonesia. Kesimpulan demikian ini dapat diajukan setidaknya karena SPNsE ini sejak wal pengembangannya 1 mulai melibatkan pertukaran informasi antar berbagai entitas penyedian informasi secara online dan real-time; 2 pertukaran informasi tersebut bersifat transaksional, bukan lagi “sekedar” brosur sebagaimana disinggung oleh Bank Dunia 2002. Bahkan SPNsE merupakan ini sistem bersifat kritikal dan sensitif karena berkenaan dengan nilai uang dalam jumlah besar dan sekaligus jumlah penggunanya yang massif. Dalam pandangan penulis, dinamika yang berkaitan dengan pengembangan dan implementasi SPNsE tersebut akan menarik jika dipandang dengan menggunakan lensa sosio-teknikal dalam ranah kajian kebijakan publik, khususnya keuangan itu, penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman terutama aspek sosio-teknikal atau lebih tepatnya politik-institusional atas proses pengembangan dan implementasi SPNsE ini. Artinya, penjelasan dan analisis yang disajikan penelitian ini lebih menekankan pada aspek non-teknikalnya. Pemahaman atas aspek sosial dalam hal ini terutama aspek politik-institusional, diharapkan semakin melengkapi pelbagai penjelasan atau kajian atas isu yang sifatnya teknis-teknologikal. Penelitian ini mencoba berkontribusi baik untuk kajian keuangan negara ataupun pemanfaatan teknologi informasi di sektor pemerintahan. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini, sebagaimana lazimnya penelitian yang menggunakan paradigma interpretif, adalah pemahaman mendalam mengenai aspek politik-institusional dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi berbasis teknologi di sektor pemerintahan. Pemahaman verstehen, lihat misalnya Bungin, 2012 yang nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebijakan ataupun operasional sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Mengapa aspek politik-institusional yang dipilih sebagai sudut pandang untuk memahami pengembangan dan implementasi sebuah sistem informasi secara mendalam? Setidaknya terdapat alasan yang cukup kuat, dengan merujuk Lawrence 2008 dan juga Darono 2014;2015. Peneliti pertama menyimpulkan bahwa aspek kuasa power belum dibahas secara eksplisit dalam kajian institusional. Peneliti yang terakhir menyatakan aspek institutisonal dalam pengembangan dan implementasi TIK di sektor publik belum banyak diungkapkan. Kajian institutional sering tidak secara eksplisit mengungkapkan relasi kuasa-politik dengan keberadaan ketidakberadaan sebuah institusi. Mengapa suatu institusi itu ada, bagaimana ia bertahan atau bahkan ia kemudian dihapuskan. Pada sisi yang lain, beberapa penelitian tentang yang membahas kaitan aspek kuasa-politik dalam kaitannya dengan keberadaan dalam organisasi juga belum secara tegas memasukkan aspek institusional ke dalamnya Lawrence, 2008. POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Terlebih jika situasi di atas diletakkan dalam konteks penelitian pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara di Indonesia, masih sangat jarang membahas aspek sosial-teknikal sebagai bagian kerangka analisisnya lihat misalnya Darono, 2012; 2013a; 2013b. Padahal, merujuk Larsen et al. 2014, terdapat cukup banyak alternatif kerangka konsepsual yang dapat digunakan untuk memahami pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara sebagai sebuah konstruksi sosio-teknikal. Pada tingkat tertentu, dalam hemat penulis, penggunaan perspektif politik-institusional dalam tulisan ini diharapkan mempunyai kontribusi untuk melengkapi berbagai sudut pandang yang selama ini telah ada baca sudut pandang positivistik ataupun determinisme-teknologi. Perspektif tersebut pada gilirannya diharapkan bermanfaat baik dalam ranah kajian akademis ataupun kebijakan praktis, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan TIK untuk manajemen keuangan negara di Indonesia. Sistematika penyajian makalah ini adalah bagian pertama menyajikan latar belakang dan tujuan penelitian. Selanjutnya, bagian kedua merupakan tinjauan literatur yang berkaitan dengan politik-institusional sebagai kerangka konsepsual yang digunakan dalam tulisan ini. Bagian ketiga menyajikan uraian tentang SPNsE sebagai konteks kasus yang dibahas. Pada bagian selanjutnya, kelima, makalah ini akan mendisikusikan berbagai temuan penelitian, hikmah lesson learned apa yang dapat dari berbagai temuan penelitian, dan rekomendasi kebijakan. Terakhir, bagian keenam menyajikan kesimpulan 2. SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK KONTEKS KASUS Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 5/ tentang Penunjukkan Bank sebagai Bank Persepsi dalam Rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara KMK-5. Keputusan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah adanya persyaratan yang mewajibkan bank atau kantor pos yang akan mengelola penerimaan negara disebut sebagai Bank Persepsi untuk 1 memiliki jaringan sistem informasi yang terhubung langsung secara online antara kantor pusat dan seluruh atau sebagian kantor cabangnya; 2 kantor pusat bank/kantor pos memiliki jaringan komunikasi data yang dapat dihubungkan secara online dengan jaringan komunikasi data yang dioperasikan oleh Kementerian Keuangan Kemenkeu. Sebagai kelanjutan dari perubahan atas KMK-5, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang Modul Keuangan Negara MPN sebagai mekanisme teknik yang mengatur bagaimana koneksi data antara Bank Persepsi dengan otoritas perbendaharaan negara untuk pembahasan detil tentang MPN sebagai layanan elektronis lihat misalnya Darono, 2011. Implementasi MPN berlanjut terus dengan segala perkembangan dan dinamikanya sehingga diterbitkannya PMK-32. Gambar 1 menjelaskan alur data dalam SPNsE yang terjadi di antara biller bagian otoritas fiskal yang mempunyai fungsi penerimaan negara, dalam hal ini DJP, DJBC dan DJA dengan collecting agent bank/pos persepsi, dapat berupa teller, internet banking; atau ATM. Pembayaran/penyetoran ke kas negara dapat dilakukan oleh wajib pajak/wajib bayar melalui collecting agent setelah mereka mendapatkan kode billing dari biller. Sebagaimana diulas dalam Darono 2011, MPN yang dikembangkan dengan prinsip-prinsip layanan elektronis e-services sesuai namanya yang “modular” memang berpeluang untuk diintegrasikan dengan berbagai modul lain, baik dengan layanan elektronis milik otoritas perbendaharaan sendiri misalnya SPAN ataupun milik otoritas penerimaan negara lainnya DJP, DJBC, DJA ataupun kementerian/lembaga yang mengelola PNBP. Hal ini diungkapkan oleh pihak DJP sebagai otorisator PNBP dari berbagai kementerian/lembaga lain yang juga sudah mempunyai sistem informasi yang berkaitan dengan masing-masing jenis PNBP. Integrasi antar aplikasi ini tetap masih berlangsung, sebagaimana diungkapkan bahwa “... Launching aplikasi SIMPONI-BARANTAN sejatinya merupakan langkah awal dalam melakukan integrasi dengan K/L lainnya. Saat ini beberapa K/L tengah dalam proses pengerjaan integrasi sistem dengan SIMPONI, antara lain BINFAR-Kementerian Kesehatan; AHU, HAKI dan Imigrasi-Kementerian Hukum dan HAM; serta MOMI-Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Melalui kerjasama ini, kedepannya diharapkan jumlah PNBP yang diterima menjadi lebih meningkat disertai dengan pelayanan kepada masyarakat yang tetap optimal. ... “ Sumber Gambar 1 Alur Data Antara Biller DJP, DJBC, DJA melalui MPN-G2 sebagai Switch dengan Collecting Agent Bank/Pos Persepsi Sumber diadaptasi dari Masdi 2012 Menteri Keuangan Bendahara Umum Negara/BUN mempersiapkan sistem-aplikasi yang akan dikoneksikan dengan collecting agent dan biller, POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 yang dinamai dengan Modul Penerimaan Negara MPN. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/ dan Perubahannya tentang MPN ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai ketentuan teknis dan pelaksanaan di bawahnya baik yang terkait dengan otoritas perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, penganggaran Direktorat Jenderal /DJA, otoritas kepabeanan dan cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai/DJBC ataupun perpajakan Direktorat Jenderal Pajak/DJP. Ketentuan teknis tersebut antara lain mencakup ketentuan tentang bagaimana otoritas perbendaharaan sebagai Kuasa BUN mengatur MPN itu agar dapat berfungsi sebagai perangkat yang mencatat penerimaan negara secara valid dan reliabel. Salah satu ketentuan yang sangat krusial dalam implementasi MPN adalah bahwa sebuah tempat pembayaran yang mengajukan diri sebagai Bank Persepsi harus menjalani acceptance test dan memenuhi prosedur standar rekonsiliasi antar-pihak yang saling bertukar data. Termasuk di dalamnya juga aturan tentang proses rekonsiliasi data antara pihak yang bertukar informasi Bank Persepsi, otoritas perpajakan dan otoritas pebendaharaan DJPb, tanpa tahun. Dalam tatarannya yang lebih teknis, DJP, DJBC dan DJA sebagai biller masing-masing telah menerbitkan yang mengatur bagaimana mereka berinteraksi dengan collecting agent dan MPN. Perkembangan sistem penerimaan negara ini secara lebih ringkas dapat ditelusuri dari perubahan ketentuan hukum yang mengatur tentang hal ini. Tabel 1 memaparkan timeline pelbagai perubahan ketentuan tersebut. Tabel 1 Timeline Perkembangan Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara KMK Nomor 5/ Penunjukan Bank Sebagai Bank Persepsi dalam rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara Belum secara eksplisit menyebutkan keberadaan sistem penerimaan negara secara elektronik KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak Otoritas perpajakan mengambil inisiatif untuk mengembangkan sistem MP3 yang mengoneksikan data antara Bank Persepsi dengan otoritas perpajakan lihat juga Darono, 2011 KMK 210/ 455/ Perubahan terhadap 5/ Untuk menjadi Bank Persepsi, wajib 1 mempunyai jaringan komunikasi data yang mencakup semua kantor bank yang bersangkutan, 2 jaringan ini harus terkoneksi dengan Direktorat Jenderal Pajak DJP dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan; 3 memperoleh rekomendasi dari DJP KMK 536/ 547/ Perubahan terhadap 5/ Bank Persepsi yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaiman disebut dalam Pasal 2 ayat 3 masih dapat menerima setoran penerimaan negara 30 Juni 2003 Memorandum of Economic and Financial Policies dari Pemerintah RI dan BI kepada IMF Pada akhir Juni 2003, pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik PMK 99/ dan Perubahannya Modul Keuangan Negara MPN Untuk melengkapi ketentuan dalam KMK Nomor 5/ dalam hal pengaturan tentang bagaimana sistem penerimaan negara beroperasi. MPN mengintegrasikan beberapa aplikasi pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya terpisah MP3 DJP, SISPEN DJA, EDI BJBC PMK 60/ Uji coba Billing Systems melalui MPN Uji coba penambahan fitur MPN yang memperluas cara membayar tagihan pajak tertentu tidak hanya via teller bank namun juga melalui ATM, ataupun internet banking dengan menggunakan Kode Billing PMK 32/ Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik Penerimaan Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi seluruh Penerimaan Negara yang disetorkan yang diterima melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan Kode Billing. PMK ini tentang SPNsE ini “secara populer” dikenal sebagai MPN-G2, yaitu MPN dengan beberapa fitur baru lihat Gambar 1 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Perdirjen BC PER-07/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Uji coba tata cara penyetoran berbagai jenis penerimaan yang dikelola oleh DJBC PER-33/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Impor Barang Yang Dibawa Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut Dengan menggunakan Kode Billing PER-36/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Dengan Kode Billing pada Kantor Pelayanan Yang Belum Menerapkan Pertukaran Data Elektronik PDE atas Pelayanan Ekspor PER-38/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pencacahan/Pemeriksaan Paket Pos PPKP Dengan Menggunakan Kode Billing PER-39/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pelayanan Impor Dengan Menggunakan Kode Billing. Perdirjen Anggaran Nomor PER-1/AG/2014 tentang Tata Cara Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Non Anggaran Secara Elektronik. Tata Cara Pembuatan, Perekaman, dan Pembuatan Kode Billing dan Sistem Billing PNBP yang meliputi Billing untuk Migas, SDA Non Migas, BUMN. Dikenal sebagai sistem-aplikasi Simponi-PNBP Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai perluasan PMK-32, transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui Teller Bank/Pos Persepsi, Anjungan Tunai Mandiri ATM, Internet Banking dan EDC. Atas pembayaran/ penyetoran pajak tersebut Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara BPN sebagai bukti setoran Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-182/PJ/2015 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik Sebagai tindak lanjut PER-26/PJ/2014, Dirjen Pajak menunjuk Bank Mandiri, BRI dan BNI untuk menjalankan uji coba pembayaran pajak dengan menggunakan EDC yang secara populer dikenal dengan “Mini ATM” Sumber diadaptasi dari Darono 2013b, diolah kembali 3. TINJAUAN LITERATUR Politik Institusional Kuasa, Kontrol, Keagenan dan Resistensi dalam Institusi Kajian institusional berangkat dari kajian-kajian di bidang sosiologi. Emile Durkheim sebagaimana dikutip Sunarto 2004 menyatakan bahwa jika ekonomi adalah studi tentang pasar maka sosiologi studi tentang institusi sosial, selain pasar. Koentjaraningrat 1983 memberikan istilah pranata sebagai padanan institusi untuk membedakannya dengan “institut” sebagai padanan “lembaga”. Menurut Koentjaraningrat, pranata adalah perilaku manusia yang berpola teratur. Tulisan ini akan menggunakan istilah institusi lebih karena alasan praktis. Istilah institusi sudah secara luas dan lebih sering digunakan. Pemakaian istilah dan kajian tentang institusi ini kemudian berkembang dan mewarnai berbagai kajian pada disiplin yang lain seperti ekonomi, politik, hukum ataupun studi organisasi. Bahkan kemudian juga studi di bidang TIK bersamaan dengan munculnya kajian informatika sosial lihat misalnya Kling, 1999; Kling, et al., 2005; Darono, 2012. Kajian TIK-institusional merupakan kerangka pemikiran yang dapat memperjelaskan atau memahami TIK sebagai artefak-sosial lihat misalnya Avgerou, 2000; Avgerou, 2004; Ezer, 2005; Currie, 2008. Kajian Kling, et al. 2005 dan juga Kling 1999 dapat dikatakan sebagai “manifesto” yang menyatakan pentingnya pengungkapkan aspek-aspek sosial, termasuk aspek institusional yang menyertai implementasi TIK sebagai bagian dari sistem sosial yang luas. Luas cakupan disiplin yang menggunakan istilah institusi pada gilirannya juga menjadikan peneliti di bidang ini tidak dapat merumuskan “definisi tunggal” tentang institusi itu sendiri. Kajian Cole 2013 mengungkapkan berbagai definisi tentang institusi dari berbagai disiplin, termasuk diskusi tentang apakah organisasi itu aktor atau institusi. Untuk kepentingan praktis, penelitian ini memilih definisi operasional institusi sebagai semua keyakinan dan cara berperilaku yang dibentuk oleh kesepakatan bersama Carls, tanpa tahun. Beberapa peneliti kajian institusional mengajukan perlunya membedakan aktor dengan institusi ini secara tegas karena nantinya akan memengaruhi teknik dan hasil analisis yang akan disajikan Lawrence, 2008;Cole, 2013. Terdapat setidaknya dua sudut pandang yang berbeda mengenai peranan aktor dalam kaitannya dengan institusi ini. Pandangan pertama yang diajukan antara lain oleh Meyer dan Rowan 1977, Scott 2004 ataupun juga Thornton POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dan Ocasio 2008 yang lebih menekankan pada penting struktur yang melingkupi keberadaan instusi daripada aktor itu sendiri. Pada sisi yang lain, terdapat pandangan yang kedua, misalnya merujuk pada Lawrence 2008 dan Weir 2003 berpandangan sebaliknya, bahwa aktor lebih beperanan dibandingkan dengan struktur dalam keberadaan suatu institusi. Berangkat dari kedua pandangan tersebut, sebagaimana tesis yang diajukan Lawrence 2008, maka penelitian ini akan memilih sudut pandang yang kedua, bahwa aktor mempunyai peran yang lebih besar daripada struktur yang melingkupinya. Tema diskusi yang berkembang sepanjang perjalanan bidang kajian institusional ini menunjukkan bahwa penggunaan proposisi-proposisi institusional dalam disiplin sosiologi-organisasi kemudian memunculkan istilah old- dan juga new- atau neo- institutionalism. Dalam pandangan para penganjur neo-institutsional berpandangan bahwa kajian tentang institusi bukanlah semata-mata menelaah bagaimana institusi sebagai bagian dari sebuah struktur sosial terbentuk dan kemudian menjadi menjadi pendorong-atau-pengekang perilaku sosial bagi para aktor yang terlibat dengannya. Neo-institusional merupakan sebutan untuk himpunan berbagai proposisi yang menyatakan bahwa 1organisasi berada dalam sebuah lingkungan-keorganisasian organizational-field dan karenanya muncul tekanan institusonal institutional pressures; 2 adanya institusional logic sebagai keyakinan, nilai, asumsi, praktik-yang-nyata dan aturan yang secara sosio-historis dikonstruksikan kemudian digunakan oleh setiap individu untuk memreproduksi dalam keseharian mereka, dalam ruang-waktu mereka untuk memaknai realitas sosial mereka; 3 keberadaan akan institutional sebagai tindakan untuk menghilangkan kelambanan dengan mencapai kolaborasi yang berkelanjutan di antara aktor yang bermacam-macam dan tersebar untuk membentuk institusi baru ataupun mengubah yang sudah ada; dan juga 4 adanya institutional arrangementyaitu bagaimana struktur tata kelola dikembangkan Yustika, 2010; Wahid, 2011; Wahid dan Sein, 2013. Berkaitan dengan debat ini, penulis mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mungkin untuk sebagian pakar analisis institusional akan dikatakan sebagai“terlalu menyederhanakan” lebih menekankan pada apa itu institusi, sebagai sebuah entitas tunggal, sehingga tidak terlalu memperhatikan lingkungan field di mana ia berada. Sementara itu new-institutionalism melengkapi kajian yang telah ada itu dengan bagaimana institusi itu terbentuk dan bertahan. Bukan berarti, old-institutionalism menjadi tidak berlaku lagi dengan adanya new-institutionalism. Penyerderhanaan dengan tujuan praktis, bagaimana kerangka konsepsual ini dapat digunakan dengan mudah dalam konteks penelitian ini. Sebuah kritik terhadap kajian instiutional kemudian muncul dari kalangan cendekiawan yang menekuni bidang ini sendiri. Kritik tersebut berkaitan dengan bagaimana hubungan antara kuasa power dengan institusi terutama dalam hubungannya dengan kekuatan suatu institusi. MerujukScott, 2004 institusi merupakan struktur otoritatif untuk memaksakan aturan/kesepakatan yang dikandungnya kepada lingkungannnya, termasuk berbagai actor -manusia di dalamnya Lawrence 2008. Jika demikian halnya, lalu apakah tidak ada kaitan sama sekali antara politik sebagai cara untuk mendayagunakan kuasa untuk mencapai tujuan dengan keberadaan suatu institusi? Mengapa aspek politik kuasa ini belum jika tidak mau disebut “diabaikan” dibahas secara detil. Akibatnnya tekanan institusional lihat misalnya DiMaggio dan Powell, 1991 dianggap sebagai sebuah hal yang muncul begitu saja, tanpa harus memperhatikan bagaimana sistem kekuasaan itu bekerja sehingga tekanan itu terbentuk, bertahan ataupun menghilang. Situasi ini dianggap kontradiktif jika dikembalikan pada definisi institusi sebagai sebuah pola aturan perilaku yang dipatuhi dan berdaya tahan lama. Bagaimana mungkin membahas keberadaaan suatu hal yang dipatuhi dan mempunyai daya tahan tanpa membicarakan kuasa dan politik, demikian pandangan Lawrence 2008. Atas oto kritiknya terhadap analisis institusional ini, kemudian Lawrence 2008 mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mencoba menjelaskan hubungan antara politik dengan institusi. Pada dasarnya kerangka pemikiran ini muncul untuk melengkapi beberapa kerangka pemikiran sebelumnya yang terhimpun dalam analisis neo-institutional. Gagasan tentang politik-institusional ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperlengkap kajian neo-institusional yang cenderung menitikberatkan kajiannya pada tekanan dan logika institusional Meyer dan Rowan, 1977;Thornton dan Ocasio, 2008, namun lalai untuk menelaah lebih jauh bagaimana tekanan ataupun logika tersebut berasal. Kajian Lawrence 2008 kemudian menawarkan sebuah kerangka pemikiran yang disebut sebagai politik-institusional institusional politics. Konsep ini menawarkan proposisi bahwa kuasa power merupakan salah satu pembentuk hubungan antara aktor dengan institusi dan hal ini harus secara eksplisit ditelaah keberadaannya. Kerangka pemikiran ini menjelaskan lebih lanjut bahwa politik-institusional terdiri dari tiga aspek yang saling-memengaruhi yakni kontrol-institusional institutional-control, keagenan-institusional institutional-agency, dan resistensi-konstitusional institutional-resistance. Politik-institusional bekerja sebagai pembentuk, pengubah ataupun penghapus institusi baik pada level institusi tunggal maupun antar-institusi organizational-field. Gambar 2 menjelaskan politik-institusional sebagai kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini. Kuasa, Teks, Wacana dan Institusi POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Bagian ini merupakan upaya penulis untuk membuat kerangka pemikiran politik-institusional yang ditawarkan Lawrence 2008 lebih mudah diaplikasikan untuk memahami keberadaan sebuah institusi sosial dalam hal ini adalah implementsi SPNsE dengan menggunakan teknik interpretive policy anaysis yang pada dasarnya adalah penerapan analisis wacana. Artinya pemahaman akan bagaimana politik-institusional itu ada dan memengaruhi sebuah institusi dalam suatu konteks sosial tertentu dapat dipahami dengan menggunakan pemahaman akan kuasa dan wacana. Dalam konstruksi pemikiran seperti itu maka penulis mengajukan sebuah kerangka analisis berbasis proposisi yang diajukan Phillips, et al.2004 dan Jones 2003 tentang bagaimana hubungan yang dapat terjadi antara kuasa, teks, wacana dan institusi. Kerangka yang dikembangkan inilah yang nantinya akan digunakan untuk menggali dan membahas temuan penelitian. Jones 2003 dengan merujuk teori wacana Foucault, menyatakan bahwa dengan berwacanalah manusia dapat menyatakan dan memahami realitas. Lebih lanjut, diuraikan bahwa jika seseorang ingin memahami situasi sosialpada suatu waktu tertentu, maka ia dapat melakukannya dengan memahami wacana apa yang dominan di lingkungan dan saat tertentu itu. Pada sisi lain Phillips, et al. 2004 dengan terlebih dulu menjelaskan bagaimana teks menjadi wacana, pada akhirnya mengajukan sebuah proposisi yang cukup menantang, bahwa “semua institusi merupakan produk diskursif, sementara itu tidak semua produk diskursif merupakan institusi”. Jadi secara sederhana dapat digambarkan secara linier bahwa antara wacana teks yang dominan itu mengalami “institusionalisasi”. Pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan perubahan bentuk teks, wacana dan institusi tersebut? Jawabannya menurut Foucault sebagaimana didukung oleh Jones 2003 adalah kuasa. Untuk itu, sebagaimana telah diungkapkan pada awal bagian ini, pemahaman akan hubungan antara kuasa, teks, wacana dan institusi merupakan prasyarat penting dalam menggunakan konsep politik-institusional untuk menelaah keberadaan dan fungsi suatu institusi. Kerangka Penelitian Riawanti 2015 menyakan kerangka penelitian sebagai pedoman umum tentang bagaimana seorang peneliti mencari jawaban atas masalah penelitian yang diajukannya. Kerangka ini mencakup 1 hal-hal pokok yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama lain; 2 mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang terjadi dengan gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. hipotesis yang umum atau teori sementara sang peneliti. Jika diperlukan, kerangka ini dapat saja menyertakan hipotesis di dalamnya. Namun perlu diingat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif merupakan pedoman jalannya penelitian, bukan pernyataan yang akan diuji kebenarannya. Artinya, hipotesis dalam penelitian kualitatif dapat dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dengan penelitian itu mampu memberikan pemahaman memuaskan tentang gejala/situs/situasi yang sedang diamati. Berdasarkan konteks kasus yang diteliti, tinjauan literatur yang telah dikemukankan beserta uraian tentang kerangka penelitian, maka penelitian ini mengajukan kerangka pemikiran sebagai berikut ini. Kerangka ini jua merupakan penegasan atas tujuan penelitian, bahwa penelitian ini sebagai penelitian sosial kualitatif-interpretif adalah upaya untuk memahami sebuah konstruksi sosial yang berupa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE. Adapun sumber beserta teknik analisis data yang digunakan akan dijelaskan dalam bagian metode penelitian. Gambar 3 Kerangka Penelitian 4. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian merupakan cara peneliti untuk memilih paradigma, strategi, jenis bukti, dan Sumber datadokumentasi sistem, teknik interpretive police analysis Gambar 2 Politik-Institusional Sebagai Interaksi Antara Institusi dengan Aktor melalui Kontrol-, Resistensi-, dan Keagenan-Institusional Sumber Lawrence, 2008 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 teknik pengumpulan data penelitian yang sesuai dengan tujuan dan konteks penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma interpretif. Riset dalam paradigma interpretif mengasumsikan bahwa pengetahuan tentang realitas diperoleh melalui konstruksi sosial seperti bahasa, makna yang disepakati dalam sebuah masyarakat, berbagai dokumen atau artefak lainnya Yin, 1981; Howcroft dan Trauth, 2004; Moleong, 2010; Djamhuri, 2011; Wahyuni, 2012. Riset ini menggunakan metode penelitian studi kasus untuk menyelidiki fenomena empiris berupa implementasi SPNsE sebagai unit analisis yang tidak dapat dilepaskan dari konteks nyata kesehariannya bukan eksperimen dan datanya dianalisis secara kualitatif tidak menggunakan teknik statistika tertentu. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata Yin, 1981; 2009; 2011. Penelitian ini memenuhi kriteria studi kasus kasus tunggal sebagaimana yang dikemukakan Yin 2009 karena fenomena yang diteliti merupakan hal yang unik dan juga sekaligus sedang dan masih berlangsung. Objek penelitian ini adalah kebijakan publik dalam bentuk implementasi sistem-administrasi pemerintahan berbasis teknologi merupakan sebuah konstruksi sosial yang dapat dimaknai/ditafsirkan oleh para pemangku kepentingannya. Dalam pandangan Walsham 1993;2006, riset interpretif dengan objek sistem informasi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks sebuah sistem informasi beserta proses yang dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Perlu diperhatikan bahwa oleh para pemangku kepentingan dari sistem yang diteliti adalah agen-manusia yang mempunyai tafsir interpretasi tertentu berdasarkan latar belakang sosial mereka Myers, 1997; Walsham, 2006; Myers dan Klein, 2011. Berkaitan dengan objek penelitiannya, penelitian ini memilih untuk menggunakan interpretive policy analysis IPA sebagai kerangka kerja analisis data untuk membahas data penelitian, menggali temuan penelitian dan menyajikan hasil/temuan. Kerangka analisis data IPA pada dasarnya adalah suatu teknik analisis data kualitatif yang dikembangkan di bawah tradisi analisis wacana discourse analysis Glynos, et al., 2009. IPA dipilih karena pada dasarnya objek penelitan ini implementasi SPNsE adalah sebuah wacana discourse. Istilah wacana digunakan oleh banyak bidang kajian sehingga mempunyai bermacam-macam pengertian. Sosiologi mengartikannya sebagai konteks sosial pemakaian bahasa. Sedangkan menurut kajian bahasa linguistik, wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah Eriyanto, 2011. Sementara itu, psikologi memaknai seperangkat pernyataan yang saling mendukung untuk mengonstruksi sebuah objek Parker, 1992. Pada akhirnya penulis dengan merujuk berbagai pendapat yang telah diuraikan tersebut dan juga Hardy 2001; Berntsen, et al., 2004, Bondarouk dan Ruel 2004 dan Phillips, et al., 2004, mengajukan definisi wacana dalam tulisan ini yakni berbagai teks dalam berbagai bentuknya tertulis atau ujaran, dalam sebuah konteks tertentu yang menyertainya dan dalam letak kesejarahan tertentu. Sebuah teks dapat dipandang “unit diskursif” sebagai manifestasi dari wacana tertentu sehingga menjadikan suatu objek itu ada. Berdasarkan batasan tersebut, kebijakan pengembangan dan implementasi SPNsE dapat dipandang sebagai sebuah wacana yang dapat ditelaah dengan menggunakan kerangka kerja IPA. “Policy creates politics”, demikian ungkap Schattschneider dalam Weir 2003. Artinya, kebijakan policy selalu membawa konsekuensi munculnya hal-hal yang bersifat politik kuasa-wewenang untuk menjadikan kebijakan itu terwujud. Lantas bagaimana hubungan antara kebijakan dan politik itu dapat dianalisis lebih lanjut secara kualitatif? Pada prinsipnya kerangka kerja IPA merupakan tindakan analisis terhadap formulasi, pelaksanaan ataupun evaluasi suatu kebijakan dengan cara mendapatkan pemahaman atas konteks dari sebuah kebijakan beserta proses yang menyertasi, dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Yanow dalam Glynos, et al. 2009 menguraikan penggunaan teori wacana Foucault dalam melaksanakan IPA. Teori tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Jones 2003 mengartikan wacana sebagai cara berpikir dan bertindak yang berbasis pada pengetahuan. Aliran pemikiran ini selanjutnya mengemukakan bahwa untuk memahami perilaku manusia pada suatu tempat dan waktu tertentu, temukanlah terlebih dulu wacana-wacana yang terdapat atau bahkan mendominasi pada tempat dan waktu itu. Dalam kaitan ini, perlu juga diungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disampaikan oleh Bondarouk dan Ruel 2004 yang patut diperhatikan oleh peneliti pada saat menggunakan analisis wacana ini sebagai eksplorasi terhadap saling pengaruh antara wacana, teks dan konteks dan bagaimana memilih teks yang membentuk wacana. Selanjutnya ditekanan bahwa, analisis wacana tidak semata-mata memusatkan perhatian pada teks tunggal namun sebagai serangkaian teks dengan tetap memperhatikan batang utama teks itu. Sejalan dengan itu, analisis harus dilakukan juga atas kedudukan dan bagaimana teks itu diproduksi. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa dokumentasi sistem secara luas Bowen, 2009, baik berupa ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam sistem. Sumber data tersebut akan dilengkapi dengan berbagai rilis ataupun liputan di media massa online/offline. Penulis kemudian dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang ada selama ini akan melakukan tindakan interpretif dengan menelaah berbagai dokumen tersebut. Hal ini POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dilakukan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks dan kaitan sosio-historisnya Glynos, et al., 2009; Eriyanto, 2011, dan selanjutnya mengajukan penafsiran dan pemaknaan tertentu atas proses telaah tersebut. 5. TEMUAN DAN DISKUSI Pengantar Penelitian ini menganalisis data sekunder berupa berbagai dokumentasi Bowen, 2009, baik yang berupa peraturan, berbagai laporan dari berbagai otoritas terkait, manual/prosedur standar operasional, ataupun rilis di media massa online/offline yang berkaitan dengan perkembangan impelementasi SPNsE. Analisis terhadap data yang sudah dikumpulkan untuk mendapatkan temuan penelitian dilakukan sesuai dengan urutan langkah penggunaan teknik IPA yang sudah dikemukakan oleh Yanow dalam Glynos, et al. 2009 sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendekatan penelitian. Yanow sebagaimana dikutip Glynos et al. 2009 menguraikan secara ringkas langkah-langkah penggunaan teknik IPA dalam suatu penelitian tentang yang mengasumsikan kebijakan publik sebagai sebuah wacana. Urutan langkah tersebut adalah 1 identifikasi semua artefak bahasa, objek, tindakan yang membentuk makna dari kebijakan yang diteliti; 2 identifikasi para pihak yang terkait dengan kebijakan; 3 identifikasi wacana yang relevan, yaitu makna tertentu yang dikomunikasikan melalui artefak yang ada; 4 interpretasi harus dipusatkan pada titik konflik yang terjadi dan dihubungkan dengan dari mana sumber yang menyebabkan perbedaan pemaknaan antar aktor yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Bagian berikut akan mendiskusikan temuan penelitian. Diskusi ini dengan menggunakan teknik analisi data IPA menitikberatkan pada bagaimana terjadinya perputaran antara kontrol-, resistensi- dan keagenen-institusional sehingga hubungan timbal balik antara aktor-institusi dapat terbentuk. Penelitian ini menemukan setidaknya empat hal penting yang layak dielaborasi lebih jauh berkaitan bagaimana hubungan antara institusi dengan aktor yang terlibat di dalamnya merupakan hasil dari saling-pengaruh interplay antara kontrol-, resistensi- dan keagenan-institusional. Temuan ini sampai dengan tahap tertentu merupakan konfirmasi terhadap apa yang digagas oleh Lawrence 2008 sebagai institutional politics dengan beberapa catatan. Keempat hal tersebut adalah pertama, bagaimana praktik-praktik diskursif dapat mengubah SPNsE dari wacana menjadi institusi lihat Phillips, et al., 2004. Kedua, bagaimana kontrol-institusional menggunakan kuasa-sistemik mengubah perilaku aktor. Ketiga, tindakan aktor untuk menggunakan pengaruh pengaruh dan tekanan mereka untuk mengubah institusi. Keempat, bagaimana aktor menghadapi resist terhadap adanya kontrol- ataupun keagenan- institusional. Pada akhir bagian ini akan disampaikan refleksi atas temuan penelitian dan juga rekomendasi kebijakan yang mungkin dapat dipertimbangkan stakeholder pengelolaan keuangan negara/daerah dalam kaitannya dengan pengembangan sistem informasi manajemen keuangan. SPNsE sebagai Institusi yang dibentuk Wacana Reformasi politik 1998 juga membawa dampaknya pada reformasi pengelolaan keuangan pemerintah Indonesia Nasution, 2007. Dalam lensa analisis wacana, pemahaman akan perubahan sosial dapat dilihat dari wacana yang dominan pada sistem sosial yang ada Jones, 2003. Menurut hemat penulis salah satu wacana dominan yang berkaitan dengan reformasi administrasi, termasuk di fungsi pengelolaan fiskal adalah isu tentang tata kelola governance dan transformasi kelembagaan. Boediono 2008; 2009 dan juga Sri Mulyani Indrawati Depkeu, 2009 menekankan pentingnya perubahan mendasar pada sisi governance ini sebagai pijakan awal untuk menuju pengelolaan fiskal yang transparan dan akuntabel. Lebih lanjut, Depkeu 2009 mengemukakan penting pengembangan sistem berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagai perangkat pengelolaan keuangan negara yang efisien. Selain tata kelola, wacana dominan yang dikembangkan oleh kementerian ini adalah transformasi kelembagaan. Kemenkeu 2015 menyatakan bahwa proses transformasi mencakup transformasi organisasi dan implementasi inisiatif strategis di seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan dan dititikberatkan pada 87 inisiatif strategis untuk lima tema utama transformasi, yaitu sentral meliputi organisasi, SDM dan TIK, dan Manajemen Kinerja, perpajakan, kepabeanan dan cukai; penganggaran; dan perbendaharaan. Jadi teks yang menjadi wacana dominan dalam proses reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan adalah tata kelola dan transformasi kelembagaan. Salah satunya adalah membangun sistem administrasi modern yang berbasis TIK sehingga layanan menjadi efisien, transparan dan akuntabel. Teks ini kemudian menjadi wacana dan institusi melalui pratik diskursif tertentu. MPN bahkan dibangun dengan niatan untuk menjadi tulang punggung reformasi birokrasi “ ... Dengan disokong oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan, serta Sekretariat Jenderal, MPN menjadi sebuah program Kementerian Keuangan dan menjadi salah satu backbone reformasi birokrasi. ...” DJPbn, tanpa tahun Tekad untuk menjadi backbone tersebut tentu saja harus didukung dengan strategi implementasi kebijakan yang memadai. Dalam pandangan penulis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana mengelola politik-institusional secara bijak. Pada tahapan selanjutnya, kedudukan MPN semakin diperkuat yang secara teknis dinyatakan POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 dalam bentuk penambahan fitur baru seperti billing system dan tersedianya berbagai channel baru pembayaran ke kas negara melalui ATM, EDC , i-banking ataupun m-banking. Situasi yang sedemikian ini, merujuk proposisi yang diajukan Phillips, et al. 2004, menunjukkan bahwa salah satu cara untuk membentuk atau memperkuat institusi adalah bagaimana aktor memilih teks yang akan menjadi wacana dominan dan kemudian melalui praktik diskursif tertentu akan membentuk sebuah institusi. Kontrol-Institusional Institusi dan Kuasa-Sistemik Mengapa otoritas perpajakan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan istilah “monitoring pelaporan pembayaran” bukan “pembayaran pajak”? Jawabnya karena harus disadari sebenarnya tugas otoritas perpajakan adalah mengawasi apakah Wajib Pajak sudah melunasi pajaknya dengan menggunakan informasi transaksi penerimaan keuangan negara yang sah dengan bersumber dari otoritas perbendaharaan. Walaupun otoritas perpajakan menginginkan informasi pembayaran yang lebih cepat dan tepat waktu dengan memanfaatkan sistem berbasis TIK namun pada saat itu tidak dapat mengembangkan sistem itu sendiri. Pengembangan sistem pembayaran tersebut adalah wewenang pada sisi otoritas perbendaharaan. Otoritas pajak merupakan pengguna sistem informasi pembayaran elektronik yang dikembangkan oleh otoritas perbendaharaan. Walaupun kedua otoritas ini masih berada di bawah satu kementerian yang sama Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal, namun koordinasi untuk penyediaan informasi pembayaran pajak secara cepat dan andal masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Dalam pengembangan sistem MP3, otoritas perpajakan sampai dengan tingkat tertentu mengambil keputusan yang dapat dikatakan melampaui wewenangnya. Atas dasarnya inilah, dalam hemat penulis kemudian sistemnya diidentfikasi dengan “monitoring pelaporan”, bukan secara tegas menyebut “sistem penerimaan pajak”. Jika politik diartikan sebagai bagaimana mencapai tujuan dengan cara yang memungkinkan, maka situasi ini merupakan fakta bahwa politics matter in institutional analysis yang ditemukan dalam konteks bagaimana sebuah institusi terbentuk dari tekanan kontrol-institutional yang bersifat politis/kuasa-sistemik. Namun situasinya menjadi berbeda jika dibandingkan dengan adanya peranan IMF yang meminta atau mungkin dapat dikatakan “memaksa”, dengan menjadikan sistem ini sebagai bagian dari Letter of Intent Pemerintah RI untuk mewujudkan sistem pembayaran elektronik untuk mengadministrasikan pembayaran pajak sebagai langkah meminimalkan indikasi “kebocoran” yang terjadi Brondolo, et al., 2008; Dwiputranto, 2008; Depkeu, 2009. Konteks yang ikut melengkapi dan perlu dipertimbangkan dalam situasi ini adalah bahwa saat itu otoritas perpajakan sedang membangun kantor pelayanan pajak yang khusus menangani wajib pajak besar dan termasuk di dalam rangkaian pembentukan itu adalah adanya fasilitas pembayaran secara online. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-383/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran Setoran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line dan Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Bentuk Digital. Dalam situasi yang demikian ini ternyata kontrol-institusional “internal” dilihat dari lingkungan organisasi Kementerian Keuangan kurang kuat memicu perubahan institusi. Sebaliknya, kuasa-sistemik disiplin, dominasidari institusi eksternal sebagai kontrol-institusional mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam mengubah perilaku aktor. Resistensi-institusional sebagai respon dari para aktor terhadap kontrol-institusional dapat saja berupa penolakan atau dukungan. Pelajaran penting dari situasi ini adalah bagaimana menciptakan resistensi-institusional yang sesuai dengan keinginan pemilik kontrol. Apakah yang diinginkan dari resistensi-institusional harus selalu dukungan? Dalam hemat penulis, belum tentu. Karena bisa saja pemilik kontrol-institusional masih menginginkan suatu institusi itu bertahan. Bagian dari politik-institusional adalah bagaimana menggunakan kontrol-instistusional untuk memengaruhi tindakan aktor untuk membuat atau menghapus institusi. Keagenan-Institusional Pengaruh dan Tekanan Aktor Terdapat sebuah fenomena menarik berkaitan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai SPNsE ini. Pada tahun 2003 otoritas perpajakan Indonesia mengajukan inisiatif pengembangan suatu sistem-aplikasi yang disebut sebagai Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3. Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak MP3 pada Direktorat Jenderal Pajak, mengajukan inisiatif sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 keputusan ini “Pembayaran Pajak dengan menggunakan SSP khusus dianggap telah masuk ke rekening Kas Negara apabila informasi pembayaran setoran pajak yang diterima dari Direktorat Informasi Perpajakan melalui Sistim Informasi Perpajakan atau Sistim Administrasi Perpajakan Terpadu telah sesuai dengan DNP/RDD yang diterima dari KPKN mitra kerja atau Kanwil/KPP Koordinator.” Pengembangan dan implementasi sistem MP3 ini dalam kerangka kerja politik-institusional yang diajukan Lawrence 2008 dapat dipandang sebagai keagenan-institutional. Kebertindakan-agen untuk menghilangkan suatu institusi yang stabil sistem POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 administrasi pembayaran pajak saat itu masih manual, belum menggunakan mekanisme transaksi elektronik secara real time dengan institusi yang baru sebuah lingkungan sistem berbasis layanan elektronik sebagaimana dijelaskan oleh Darono, 2011. Demikian pula halnya DJA selaku otorisator PNBP sebagai aktor, implementasi MPN-G2 memungkinkan ekstensi fitur sistem-aplikasi Simponi-PNBP dengan mekanisme billing sebagaiman yang selama ini telah telah dikenal dalam sistem pembayaran di sektor komersial. Keberhasilan MPN menjadi sebuah institusi yang stabil dalam struktur pengelolaan keuangan negara sebagai dampak dari adanya kontrol-institusional tertentu pada gilirannya menimbulkan tindakan-agen untuk mengubah institusi yang telah ada tersebut menjadi lebih kompatibel dengan perubahan sosial. Pada setting situasi yang lain, ternyata kebijakan impelementasi sistem aplikasi MPN ternyata menjadikan bank persepsi bertindak dan menggunakan pengaruh mereka keagenan-instutitonal sebagai salah satu aktor dalam sistem penerimaan negara dengan menjadikan kemampuan mereka melakukan pertukaran data pembayaran tagihan pajak ataupun pada tahap berikutnya adalah penerimaan negara secara umum untuk memengaruhi institusi yang ada dalam pengaruh bank persepsi tersebut misalnya cara para nasabah melakukan pembayaran. Ambil contoh tanggapan dari salah satu bank yang terkait dengan hal ini, yang mengungkapkan implementasi MPN-G2 sebagai peluang bisnis baru “ ... BRI akan kerahkan 19 ribu ATM, lebih dari 85 ribu EDC, dan lebih dari unit kerja BRI di seluruh Indonesia, BRI siap memberikan kemudahan dan beragam pilihan bagi WP, WB maupun WS untuk melakukan transaksi pembayarannya,” ujarnya. ... “ Sumber Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik juga merupakan keagenan-institusional yang membawa perubahan yang membawa kemudahan bagi pembayaran/penyetoran pajak. Kemudahan tersebut adalah 1 diizinkannya penggunaan EDC sebagai sarana pembayaran pajak, melengkapi yang selama ini telah ada; 2 Kode Billing dapat diperoleh secara host-to-host dari sistem milik pembayar/penyetor, dengan bank persepsi dan sekaligus dengan otoritas perpajakan. Hal ini secara eksplisit sudah ditawarkan sebagai bagian dari layanan cash management beberapa bank lihat misalnya publikasi/advertorial BRI tanpa Tahun; BNI tanpa tahun; dan juga Bank Mandiri tanpa tahun. Sepertinya untuk jenis pembayaran/penyetoran lain akan tiba waktunya dibuka layanan host-to-host dengan sistem-aplikasi SPNsE/MPN-G2. Sorotan highlight dari bahasan atas fakta penelitian di bagian ini adalah bahwa kerangka politik-institusional yang ditawarkan oleh Lawrence 2008 ternyata belum menjelaskan bagaimana keagenan-institusional melalui pengaruh/tekanan itu berjalan. Temuan penelitian ini mengungkapkan, bahwa kontrol-institusional itu malah dapat terwujud dengan adanya institutional entrepreneur, agen yang mampu bertindak untuk membuat atau mengubah institusi yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan situasi sosial-organisasional. Resistensi-Institusional Praktik-praktik Diskursif Aktor Bagian ini diawali dengan kembali merujuk kasus pembangunan sistem-aplikasi MP3 oleh otoritas perpajakan. Pertanyaannya, sekali lagi, adalah mengapa otoritas perbendaharaan pada waktu itu tidak segera merespon permintaan otoritas perpajakan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah sistem pengolahan pembayaran pajak secara real-time sehingga harus ada terlebih dulu sistem MP3, baru kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi MPN dan MPN-G2? Pada situasi inilah perlu diperhatikan adanya reaksi-aktor oleh Lawrence, 2008 disebut sebagai resistensi terhadap kontrol- ataupun keagenan- institutional yang diperlihatkan oleh masing-masing aktor. Fenomena ini sebenarnya adalah munculnya sebuah resistensi-institusional dari para aktor yang terlibat sebagai bentuk reaksi mereka terhadap kontrol ataupun tindakan yang harus mereka hadapi. Dalam satu situasi bisa saja langsung menolak ataupun sebaliknya langsung menerima. Mengapa implementasi sistem-aplikasi MP3, MPN, MPN-G2 mengalami berbagai dinamika yang berbeda-beda walaupun aktor dan institusinya relatif sama? Jawabannya, dalam hemat penulis adalah bentuk resistensi-institusional yang ada pada setiap tahapan implementasi tersebut berbeda-beda, bergantung merujuk Foucault dalam Jones, 2003 pada wacana yang mendominasi atau praktik-diskursif yang terjadi pada setiap situasi. Wacana yang mendominasi situasi otoritas perpajakan saat itu adalah tuntutan modernisasi layanan pajak lihat Brondolo, et al., 2008; Boediono, 2009 yang hal itu bahkan adalah bagian dari janji kepada pihak lain yang memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi dari deraan krisis ekonomi. Sementara itu, dalam hemat penulis rasa keterdesakan sense of urgencyyang sama belum ditemukan di sisi otoritas yang lain. Akibatnya, resistensi-institusionalnya akan berbeda. Namun demikian, resistensi-institusional ini belakangan dapat dikatakan berkurang drastis jika tidak dapat dikatakan telah hilang sama sekali. Situasi demikian ini dapat dilihat dari inisiatif untuk mengoneksikan bank persepsi dengan DJPb dan selanjutnya dengan DJP/DJA/DJBC dalam bentuk MPN bahkan kemudian menjadi SPNsE MPN-G2 dengan segala kampanye kepada publik tentang fitur unggulan dan kemanfaatannya menjadikan resistensi-institusional atas implementasi sistem ini seolah tidak POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 pernah ada. Artinya, dalam pandangan penulis, hali ini menunjukkan bagaimana praktik diskursif para aktor untuk memilih teks, wacana, dan institusi menjadi penting dalam menghadapi resistensi-institusional. Catatan penulis pada bagian ini jika dihubungkan dengan bahasan pada temuan pada bagian sebelumnya adalah pentingnya pengguna konsep politik-institusional ini menerapkannya sebagai bentuk yang simultan. Tidak bisa seseorang melihat sebuah fenomena hanya sebagai kontrol-institusional atau keagenan-instituisonal saja. Namun, kajian harus dilakukan secara serentak bahwa kontrol akan menimbulkan resistensi yang dampaknya sampai pada tindakan keagenan. Selebihnya penulis setuju dengan apa yang ditawarkan Lawrence 2008, bahwa kajian institusional perlu mempertimbangkan aspek politik di dalamnya. Refleksi dan Rekomendasi Kebijakan Lawrence 2008 mengajukan konsepnya tentang bagaimana politik kuasa-wewenang seharusnya didudukkan dalam analisis institusional namun ternyata dia tidak menjelaskan lebih detil tentang 1 dari mana aktor mendapatkan ide/gagasan/tekad untuk menjalan resistensi-institusional untuk merespon kontrol-institusional ataupun keagenan-institusional?; 2 aktor manakah yang mampu paling mungkin melaksanakan keagenan-institusional? Jawabannya adalah 1 institutional logics; 2 institutional entrepreneurs. Penelitian ini sebagai hasil studi empiris ingin mengajukan rekomendasi kebijakan,yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan reformasi birokrasi secara umum ataupun secara khusus mereka yang memangku implementasi sistem informasi bebasis TIK untuk pengelolaan keuangan negara atau daerah. Rekomendasi ini sebenarnya semacam penerapan prinsip transferability kesimpulan sebuah studi kasus untuk dapat diterapkan transfered ke kasus situasi yang lain. Rekomendasi tersebut adalah 1 aspek teknis tetap merupakan syarat mutlak keberhasilan implementasi sistem berbasis TIK, hal ini menyangkut validitas data ataupun kinerja sistem misalnya waktu respon atau akses yang efisien; 2 aspek politik-insittusional untuk melihat bagaimana sistem yang dibangun ini jika diletakkan dalam konstelasi sistem yang telah ada existing system. Artinya memahami kontrol-institusional, keagenan-institusional dan resistensi-insitusional sebagai sebuah rangkaian yang utuh dari berbagai institusi yang ada merupakan modal penting kesuksesan implementasi sebuah sistem. Dalam kerangka konsepsual politik-institusional dan relasi wacana-institusi, dengan menggunakan teknik analisis wacana, sistem pembayaran merupakan adalah teks yang menjadi wacana dan kemudian menginstitusi. Teks itu menjadi institusi karena kedudukan aktor yang mampu menggunakan kuasa-episodik untuk menghilangkan institusi lama sistem pembayaran yang masih manual, yang sarat dengan pekerjaan klerikal dan menggantinya dengan institusi baru SPNsE. Bahkan, lebih dari itu institusi baru yang dibentuk tersebut mampu memengaruhi para aktor yang terlibat di dalamnya dan juga mampu menarik aktor baru melalui kuasa-sistemiknya. 6. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan dengan menggunakan teknik IPA yang telah dilakukan di atas, kesimpulan sekaligus lesson-learned dari kasus yang dianalisis ini adalah 1 kontrol-institusional dapat mengakselerasi muncul SPNsE sebagai institusi baru; 2 aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; 3 wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; 4 sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauan-kuasa sang aktor. Namun pantas dicatat, pada situasi yang lain keagenan-institusional relatif berhasil mentransformasikan institusi yang berada di dalam jangkauan-kuasa aktor. Apa yang membedakan situasi tersebut? Resistensi-institusional, yaitu bagaimana aktor merespon disiplin/dominasi yang datang kepada mereka dan kemudian bagaimana mereka mengubahnya menjadi pengaruh/tekanan terhadap institusi yang ada, apakah mereka hendak menghapus dan membuat institusi baru atau mengubah institusi yang sudah ada. Dari sisi metodologi penelitian, tulisan ini dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ditawarkan Lawrence 2008 berusaha memberikan alternatif sudut pandang untuk memahami bagaimana saling-pengaruh interplay aspek-aspek politik-institusional dalam proses pengembangan dan implementasi suatu sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Kerangka pemikiran tersebut dapat digunakan dengan beberapa catatan bahwa peneliti harus jeli dalam menangkap fenomena yang muncul untuk kemudian menetapkan dari titik mana ia akan memulai analisisnya. Dalam pandangan penulis, kerangka kerja ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti di bidang TIK-organisasi khususnya di Indonesia untuk melengkapi berbagai kerangka pemikiran yang selama ini telah digunakan, terutama pada saat penelitian yang menggunakan pendekatan non-positivitik dengan tujuan memahami implementasi TIK sebagai artefak sosio-teknikal. DAFTAR PUSTAKA Avgerou, Chrisanthi. 2000,"IT and Organizational Change an Institutionalist Perspective." Information Technology and People, 134, pp. 234 - 62. Avgerou, Chrisanthi. 2004, "IT as an Institutional Actor in Developing Countries," S. Krishna dan S. Madon, The Digital Challenge Information Technology in the Development Context. Aldershot, UK Ashgate Publishing, 46-62 BankMandiri. tanpa tahun, "Dorong Peningkatan Penerimaan Pajak, Mandiri Edukasi Perusahaan," URL POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Berntsen, Kirsti E.; Sampson, Jennifer dan Østerlie, Thomas. 2004, "Interpretive research methods in computer science," URL BNI. tanpa tahun, "SEKILAS CASH MANAGEMENT," URL Boediono. 2009, "Kebijakan Fiskal Sekarang dan Selanjutnya," A. Abimanyu dan A. Megantara, New Era of Fiscal Policy Pemikiran, Konsep dan Aplikasi. Jakarta Penerbit Buku Kompas Bondarouk, Tatyana dan Ruel, Huub. 2004, "Discourse analysis making complex methodology simple.". The European IS Profession in the Global Networking Environment. Turku School of Economics and Business Administration, Turku, Finland. , 2004 Bowen, Glenn A. 2009,"Document Analysis as a Qualitative Research Method." Qualitative Research Journal, 92, pp. 27-40. BRI. tanpa tahun, "Cash Management System BRI," URL Brondolo, John; Silvani, Carlos; Borgne, Eric Le dan Bosch, Frank. 2008, "Tax Administration Reform and Fiscal Adjustment The Case of Indonesia 2001-07," IMF Working Paper Washington, Fiscal Affairs Department - International Monetary Fund, 2008 Bungin, Burhan. 2012, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta Kencana Predana Media Group Carls, Paul. tanpatahun, "Émile Durkheim 1858—1917," The Internet Encyclopedia of Philosophy, URL Cole, D. H. 2013,"The Varieties of Comparative Institutional Analysis." Wisconsin Law Review, 2013, pp. 383-409. Currie, Wendy. 2008, "Institutionalization of IT Compliance A Longitudinal Study". International Conference on Information System ICIS. 2008 Darono, Agung. 2011, "Modul Penerimaan Negara Tinjauan terhadap Fungsinya sebagai Layanan Elektronis". The Conference on Information Technology and Electrical Engineering CITEE 2011. Electrical Engineering and Information Technology Department, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2011 Darono, Agung. 2012, "Tinjauan Interpretatif terhadap Aspek-Aspek Institusional dalam Implementasi Layanan Elektronik Studi Kasus PT. XYZ," Magister Teknolog Informasi. Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Darono, Agung. 2013a, "Paradigma Kritis dalam Penelitian Sistem Informasi di Indonesia Perlukah?". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta, 2013a Darono, Agung. 2013b, "Public Sector Innovation through e-Services The Case of Indonesian Tax Administration ". International Conference on Indonesia Development. The Hague, The Netherlands PPI Belanda, 2013b Darono, Agung. 2014, "Kajian Ekonomi-Politik Informasi di Indonesia Pentingkah?". Doctoral Colloquium and Conference. Faculty of Economics and Business - University of Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014 Darono, Agung. 2015,"Fiscal Management in Indonesia The Perspective of Political-Economy Information." Journal of Applied Indonesian Economics, 61, pp. 87-101. Depkeu. 2009, "“Menata Keuangan Negara Melalui Reformasi Birokrasi” Laporan Kinerja Departemen Keuangan 2004-2009," D. Keuangan, Jakarta, 2009 DiMaggio, Paul J. dan Powell, Walter W. 1991,"The Iron Cage Revisited Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields." American Sociological Review, 482, pp. 147-60. Djamhuri, Ali. 2011, "Paradigma dan Riset Akuntansi Interpretif," Accounting Research Training Series 2 Malang - East Java Faculty of Economics and Business - University of Brawijaya, 2011 DJPbn. 2014, "Direktur PKN Seluruh Penerimaan Negara Harus Disetorkan Melalui Bank/Pos Persepsi Dengan Menggunakan MPN," Jakarta Direktorat Jenderal Perbendaharaan DJPbn, URL DJPbn. tanpatahun, "Modul Penerimaan Negara MPN," Jakarta DJPbn, URL Dwiputranto, Antonius Danang. 2008, "State Revenue Module MPN as e-Government Implementation Its Impact towards Taxpayers' Services in Bahasa Indonesia," Department of Administration, Faculty of Social and Politic Sciences. Jakarta University of Indonesia, 2008 Eriyanto. 2011, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta LKiS Ezer, Jonathan Frederick. 2005, "The Interplay of Institutional Forces Behind Higher ICT Education in India," Department of Information Systems. Londo London School of Economics and Political Science, 2005 Glynos, Jason; Howarth, David; Norval, Aletta dan Speed, Ewen. 2009, "Discourse Analysis Varieties and Methods," ESRC National Centre for Research Methods Review, 2009 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Hardy, Cynthia. 2001,"Researching organizational discourse." International Studies of Management & Organization, 313, pp. 25-47. Howcroft, Debra dan Trauth, Eileen M. 2004, "The Choice of Critical Information Systems Research," B. Kaplan, D. P. T. III, D. Wastell, A. T. Wood-Harper dan J. I. DeGross, Information Systems Research Relevant Theory and Informed Practice. Springer IMF. 2003, "Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding," International Monetary Fund IMF, URL Jones, Pip. 2003, Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia Kemenkeu. 2015, "Frequently Asked Questions - Transformasi Kelembagaan," Jakarta Kementerian Keuangan Kemenkeu, URL Kling, Rob. 1999,"What is Social Informatics and Why Does it Matter?" D-Lib Magazine, 51. Kling, Rob; Rosenbaum, Howard dan Sawyer, Steve. 2005, Understanding and Communicating Social Informatics A Framework for Studying and Teaching the Human Contexts of Information and Communication Technologies. Medford, New Jersey Information Today Koentjaraningrat. 1983, Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta Gramedia Larsen, Allen, G.; Vance, A. dan Eargle, D. 2014, "Theories Used in IS Research," URL Lawrence, Thomas B. 2008, "Power, Institutions and Organizations," R. Greenwood, C. Oliver, R. Suddaby dan K. Sahlin, The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism, . London SAGE Publications Ltd, 170-98 Masdi, Arief. 2012, "Pembangunan SIMPONI Sistem Informasi PNBP Online," Warta Anggaran. Jakarta Direktorat Jenderal Anggaran, 2012 McLeod, Raymond dan Schell, George P. 2001, Management information systems. Englewoods Cliff Prentice Hall Meyer, John W. dan Rowan, Brian. 1977,"Institutionalized Organizations Formal Structure as Myth and Ceremony." American Journal of Sociology, 832, pp. 340-63. Moleong, Lexy J. 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja Rosdakarya Myers, 1997,"Qualitative Research in Information Systems." MIS Quarterly 212, June 1997, pp. 241-242. MISQ Discovery, archival version, 212 June 1997, pp. 241-42. Myers, Michael D. dan Klein, Heinz K. 2011,"SET OF PRINCIPLES FOR CONDUCTING CRITICAL RESEARCH IN INFORMATION SYSTEMS." MIS Quarterly, 35 1, March 2011, pp. 17 - 36. Nasution, Anwar. 2007, "Sambutan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan, 2007 Parker, Ian. 1992,"Discourse dynamics Critical analysis for social and individual psychology." Phillips, Nelson; Lawrence, Thomas B. dan Hardy, Cynthia. 2004,"Discourse and Institutions." The Academy of Management Review, 294; Oct. 2004, pp. 635-52. Riawanti, Selly. 2015, "Metode Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial," Bandung Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, URL Scott, W. Richard. 2004, "Institutional Theory Contributing to a Theoritical Research Program," K. G. Smith dan M. A. Hitt, Great Minds in Management The Process of Theory Development. Oxford University Press, Sunarto, Kamanto. 2004, Pengantar Sosiologi. Jakarta Lembaga Penerbit Universitas Indonesia Thornton, P. H. dan Ocasio, W. 2008, " Institutional Logics," C. O. Royston Greenwood, Roy Suddaby, Kerstin Sahlin-Andersson, The Sage Handbook of Organizational Institutionalism. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore Sage Publications, 99-129 Wahid, Fathul. 2011, "Explaining Failure of e-Government Implementation in Developing Countries a Phenomenological Perspective". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi SNATI 2011. Universita Islam Indonesia, Yogyakarta, 2011 Wahid, Fathul dan Sein, Maung K. 2013,"Institutional entrepreneurs The driving force in institutionalization of public systems in developing countries." Transforming Government People, Process and Policy, 71. Wahyuni. 2012, "studi eksploratori keselarasan strategi teknologi informasi dan strategi bisnis," S3 Manajemen UGM Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 2012 Walsham, Geoff. 1993, Interpreting information systems in organizations. London John Wiley and Sons Walsham, Geoff. 2006,"Doing interpretive research." European Journal of Information Systems 2006 15, 320–330, 15, pp. 320-30. Weir, Margaret. 2003, "Institutional Politics and Multi-Dimensional Actors Organized Labor and America’s Urban Problem," Crafting and Operating Institutions Conference. Yale University April 11-13, 2003, 2003 Worldbank. 2002, "The E-Government Handbook For Developing Countries," Washington Center for Democracy and Technology - World Bank, 2002 POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015 Yin, Robert K. 1981,"The Case Study Crisis Some Answers." Administrative Science Quarterly, 261, pp. 58-65. Yin, Robert K. 2009, Case study research Design and methods 4th ed.. Thousand Oaks, CA Sage Yin, Robert K. 2011, Qualitative Research from Start to Finish. New York THE GUILFORD PRESS Yustika, Ahmad Erani. 2010, "Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional," Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Agung DaronoThis research aims to determine what institutional aspects may influence the organization to implement electronic services. This research used a qualitative-interpretive research method with a single case study research strategy. The findings of this research were 1 the type of institutional pressures normative/mimetic/coercive that surround the organization and the business impact of these pressures determines the response/action of organization isomorphism; 2 the organization uses its institutional logic to perform isomorphism, and the result was the decision to develop an electronic service as one of the steps to face existing institutional pressures. This research also proposed a framework which is expected to be used by an organization to identify the institutional aspects related to the implementation of electronic services as a mechanism to respond to these pressures by appropriate isomorphism action. Agung DaronoAs the State Treasurer, the Minister of Finance has the authority to determine the State Cash Receipt and Disbursement System. In this regard, the Minister of Finance has developed a State Revenue Module MPN as a revenue module which contains a series of procedures, from receipt, deposit, data collection, recording, and summarizing to reporting related to state revenue. From the viewpoint of the informatics discipline, MPN is a form of electronic service. This paper aims to analyze the function of MPN as an electronic service. This research is descriptive by describing what MPN is and analyzing it with several propositions related to electronic services. This study concludes that as an electronic service, MPN has several aspects whose performance can still be improved. One of these efforts is to complement MPN with a formal Service Level Agreement SLA between service providers and users. It is intended that all parties related to MPN services can have the same standard reference regarding the services provided. Apart from that, e-banking services in MPN should also be revitalized, so MPN users will increasingly utilize this facility. For this reason, it is necessary to think about incentive-disincentive strategies as the banking industry has succeeded in placing ATMs/e-banking as an alternative service that is increasingly in demand besides conventional services through bank tellers. Agung DaronoFiscal management is an effort to formulate fiscal policies to be implemented, controlled, and responsible based on the government regulation. For this purpose, fiscal authority undoubtedly needs an adequate support from the state’s financial information. The provision of information for the sake of this fiscal management cannot only be seen as an issue of economic information which tends to emphasize on the process of information allocation, production, distribution, and consumption as an economic commodity. Using political-economy information of conceptual framework, the information provision in the context of fiscal management is more of a constellation of various existing economic-information that should be correlated with the involved actors, and comprehensively take into account the surrounding social-political structure. By employing an interpretive policy analysis as the data analysis approach, this study finds that fiscal authority in Indonesia has gradually made a number of efforts to improve the mechanism of the nation’s financial information provision for those who have fiscal management interests, either from income information tax/non-tax or expenditure information. In some conditions, it is identified that the initiative of information provision for the advantage of fiscal management as well as its implementation requires proper political support. Fathul WahidThe empirical evidence indicates that most e-government implementation in developing countries suffer from either total or partial failure. Drawn upon the concepts offered by phenomenology and taking into account the design reality gaps and e-government dimensions proposed by Heeks 2003, this paper attempts to seek a fresh explanation of the phenomenon of e-government failure. Phenomenology as a theory, along with hermeneutics, offers a clear explanation on why e-government implementation fails. A better understanding of this phenomenon is expected to be useful to increase the chance of success and at the same time to reduce the risk of e-government failure. Agung DaronoThe use of information and communication technology ICT as contemporary social-, government-, or business- constellation requires more comprehensive analysis tools, broader than "just" technical-technological point of view. This study bring up a proposition that political-economy of information perspective can be deployed as a conceptual framework in order to simultaneously seek and reveal how economic aspects of a political-information constructs as well as political aspects of an economic-information constructs interplay each other, and in turn provide deeper understanding towards role and position of information as part of a social, public policy, or business constellation. By using secondary data gathered through documentation study, this proposed conceptual framework combined with critical discourse analysis then deployed to carry out a multiple cases study analysis to unwrap how do banking sector, public finance management, and telecommunications business utilize their information Agung DaronoPenelitian sistem informasi SI memerlukan skala yang lebih luas dari “sekedar” bagaimana menciptakan artefak-SI yang lebih mutakhir. Artefak-SI pada akhirnya menjadi bagian dari interaksi sosial. Jadi, penelitian SI perlu melibatkan perspektif struktural, hubungan antar-manusia, aspek institusional dan bahkan politik-antar-kelas. Untuk itu, penelitian SI dapat mempertimbangkan untuk menggunakan paradigma kritis critical information systems research. Paradigma penelitian adalah asumsi-asumsi dasar tentang apa menjadikan sebuah penelitian itu, “sah”. Paradigma kritis akan melihat artefak SI dari sudut pandang yang berbeda dengan paradigma positivis. Berbagai artefak-SI yang selama ini dilihat dari kacamata teknis-SI implementasi ERP atau keamanan basisdata misalnya, dapat ditelaah lebih dalam dengan menggunakan perspektif kritis seperti dominasi dan politik-antar-kelas, kekuasaan dan penguasaan, pembebasan, pemberdayaan, emansipasi, ataupun demokratisasi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat area penelitian SI di Indonesia yang memungkinkan penggunaan paradigma kritis ini. Harapannya, penelitian SI di Indonesia tidak hanya memandang praktik/artefak-SI sisi positivis saja, sehingga akan mendapatkan hasil penelitian dengan sudut pandang yang berbeda. Agung DaronoProviding simple, affordable and fast public services is a necessity in public administration, especially in tax administration. To simplify tax administration process, tax authority in Indonesia has initiated several types of service innovations. The main part of these innovative measures is based on electronic services e-services. These tax e-services include e-registration, e-payment and e-filing. They were introduced around mid-2002 in conjunction with organisational transformation initiative of the Directorate General of Taxes DGT as Indonesia’s tax authority. The purpose of this study is to unveil why and how the initiative of service innovation development based on e-services has taken place from the beginning until today’s recent implementation. This research deploys qualitative-interpretive method based on tax policies review. This paper uses institutional theory with discourse analysis as data analysis technique. The results of this study reveal that there are institutional pressures that affect the tax authority to start and provide service innovation through e-services. In the perspective of institutional pressures, the initiative brought by DGT to establish innovative services based on e-services basically came from their internal-normative pressures. But, such internal-normative pressures is not powerfull enough. Consequently, the e-services based e-payment initiatives could not be implemented because of legal provisions that are out of the tax authority hands. The initiatives gain its momentum for the DGT when normative pressure turns into coercive pressure. This change of pressures occurred at the time when the Government of Indonesia signed a memorandum with the International Monetary Fund IMF, in which one point in the agreement was to develop a real-time/on-line tax payment system that would integrate the banking institution as a point of payment, the treasury authority and the tax authority. This momentum was even then used by the tax authority to expand the types of those e-services, including e-registration and e-filing. Furthermore, results from these initiatives still run to this day. Even, there are some additional features built to simplify the whole tax administration systems. Finally, this case reveals how to utilize and manage the various institutional pressures surround an organisation and then to support service innovations initiative to improve organisational HardyIn recent years, the body of theory on organizational discourse has grown significantly, helping to form a specific field of study and also contributing to broader organization and management theory. During this time, empirical work using discourse analysis has also increased, as organizational researchers have drawn on methods established in other domains of study to examine organizations. However, the study of organizational discourse is not without difficulties, especially for researchers wishing to conduct empirical studies. This article identifies four particular challenges for empirical researchers and then describes how an ongoing program of organizational research using discourse analysis has attempted to address them. It also highlights some of the important contributions that empirical studies of organizational discourse can offer toward the understanding of organizational While institutional theory is used widely in the information system IS literature to study implementation of systems, the actual process of institutionalization has received less attention. The purpose of this paper is to address this gap in the literature by using three concepts drawn from the theory, namely, institutional isomorphism, institutional logic and institutional entrepreneurship, and the interplay between them to explore the role of the dominant institutional entrepreneur in the institutionalization of a public system, as an instance of e‐government initiatives. Design/methodology/approach In an interpretive case study, this study examined the institutionalization process of an e‐procurement system over a four‐year period 2007‐2011 in the Indonesian city of Yogyakarta. Findings This study reveals that different institutional isomorphism mechanisms emerge during the process and institutional logics evolve over time. More interestingly, it uncovers the dominant role of an institutional entrepreneur, the city's mayor, who mobilized resources and support to drive the institutionalization process. At the beginning stage, institutionalization is best described as a process of instilling values, cultivated by the mayor, followed by a process of creating reality through a typification process, whereby the e‐procurement system is embedded in the existing practices and institutionalized. Research limitations/implications As an interpretive study, the findings are generalized to theoretical concepts rather than the population. The interrelationship between the three concepts of institutional theory represents plausible rather than deterministic links. It also offers practical insights, such as e‐procurement implementation strategy. Originality/value This paper goes beyond simply using institutional theory as an interpretive lens by examining the interrelationship between the mechanisms of institutionalization. It shows that the main catalyst of the institutionalization process is the institutional entrepreneur who managed the institutional isomorphism and was instrumental in changing the institutional logic. It also presents lessons from a successful case where corrupt practices were highly institutionalized at the beginning but were decreased through the system.
Komunisadalah sistem politik tertutup, di mana kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan partai politik tidak ada. Di dalam sistem politik komunis, biasanya hanya ada 1 partai yang legal berdiri dan memerintah, yaitu Partai Komunis. Partai identik dengan pemerintah. Partai-partai lain ditiadakan dan jika pun terlanjur berdiri, akan dibubarkan.Jangkauan1) intern, yaitu interaksi antar komponen atau sub sistem dalam satu sistem. Di dalam sistem administrasi, misainya, terjadi interaksi intern antara struktur organisasi, kepegawaian, keuangan dan lain-lain, dalam tingkat konversi. 2) Ekstern, yaitu interaksi antara satu sistem dengan sistem lain, dalam tingkat input dan output.Latihan Soal Pilihan Ganda Bab Administrasi Keuangan1. Interaksi antara sistem keuangan negara dengan sistem politik bersifat...A. InternB. EksternC. FungsionalD. DeterministikJawabanB. Ekstern2. Dalam konteks model sistem, administrasi keuangan negara merupakan suatu proses yang bersifat dialektis, maksudnya adalah ...A. Antara faktor subjek dan objek serta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapiB. Melengkapi prosesC. Alat pengarah dan penilai sampai sejauhmana suatu sistem bergerak ke arah tercapainya tujuanD. Interaksi antar komponen atau subsistem dalam sistem administrasi keuanganJawabanA. Antara faktor subjek dan objek serta lingkungan merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi3. Prinsip APBN yang berkaitan erat dengan bantuan luar negeri adalah prinsip anggaran ...A. BerimbangB. TradisionalC. FungsionalD. Dinamis absolutJawabanC. Fungsional4. Anggaran dapat menjadi instrumen untuk pembagian kembali pendapatan dalam bentuk pembiayaan tranfer atau subsidi, karena anggaran memiliki fungsi ..A. AlokasiB. AkumulatorC. StabilisasiD. DistribusiJawabanD. Distribusi5. Sistem anggaran yang relatif tepat digunakan pada saat perekonomian mengalami inflasi adalah sistem anggaran ...A. SurplusB. BerimbangC. DefisitD. TradisionalJawabanA. Surplus6. Masalah yang memerlukan keputusan dalam siklus anggaran PPBS terutama yang berkaitan dengan biaya, arah program, dan alternatif kebijaksanaannya merupakan masalah ...A. Program utamaB. Struktur programC. Program indukD. ProgramJawabanA. Program utama7. Fungsi utama yang relatif efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam konteks keuangan negara adalah ...A. AlokasiB. StabilisasiC. DistribusiD. AkumulatorJawabanA. Alokasi8. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil adalah ...A. Traditional budgetB. Performance budgetC. Balance budgetD. Planning, programming budgeting systemJawabanB. Performance budget9. Semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah adalah ...A. Pendapatan daerahB. Belanja daerahC. PembiayaanD. Belanja pembangunanJawabanD. Belanja pembangunanSelanjutnya Soal Administrasi Keuangan Bagian 2 MengenalLebih Dekat Stabilitas Sistem Keuangan dan Makroprudensial. Indonesia pernah menjadi salah satu negara yang terkena dampak krisis keuangan global pada 1998 dan 2008. Dampak yang dirasakan oleh Indonesia antara lain pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi yang tinggi, serta perlambatan pertumbuhan perekonomian.
- Չθбечуπучθ оቴехрադе ак
- ነ ж
- Ецоሞипուտጾ жисιсиձ
- Угιкεч ι лεвикυ
- Ожէмጯጫασ шуξዷцак ляжу епθдокроκ